ALUN-ALUN DAN MASJID AGUNG


Jika dilacak, tradisi tata pusat kota dengan menempatkan kantor bupati, alun-alun, dan masjid agung dalam satu area, mungkin berhulu pada tradisi Mataram Islam. Tapi tidak menutup kemungkinan telah ada sejak semisal Jipang, Pajang, atau Demak.

Jawa adalah negeri simbol. Hampir segala sendi kehidupan, oleh orang Jawa disimbolkan dengan benda atau makhluk tertentu. Termasuk pula tata letak pusat kota. Dahulu, bahkan sampai sekarang, orang Mataram sangat menyakralkan Merapi dengan Kiai Semarnya dan segara Kidul dengan Nyai Roro Kidul-nya. Merapi yang vertikal sebagai pelambang karakter manusia Jawa yang bertuhan. Segara yang horisontal sebagai pelambang karakter manusia Jawa yang guyup nan rukun.

Dari situ, seorang arsitek keraton yang entah siapa namanya, dengan kepintarannya kemudian menata pusat kota, menjadi sebuah lambang. Karakter SEGARA yang luas dan guyup rukun dilambangkan dengan dibuatkan tanah lapang yang kemudian kita sebut sebagai alun-alun. Di sana, segala kelas rakyat bisa berkumpul secara akur. Dari pejabat sampai penjahat, dari kiai sampai penjaja birahi. Dan di tengah rakyat itu, raja kudu selalu hadir. Untuk itulah pohon RINGIN di tanam di sana sebagai simbol raja yang teduh mengayomi rakyatnya.

Karakter MERAPI yang menjulang, dilambangkan dengan masjid bermustaka gunungan yang merunjung, mengarah ke arah yang paling patut sebagai isyarat kemahatinggian Tuhan: atas. Masjid menjadi tempat bagi rakyat untuk bersujud, menyembah, mengadu, dan apapun urusan mereka dengan Tuhan. Dan seperti di alun-alun, raja juga harus hadir di sana. Maka dibuatkanlah MAKSURA. Sangkar kecil untuk shalat raja. Jika mimbar diletakkan di sebelah kanan mihrab sedikit ke belakang, maka maksura diletakkan di sebelah kiri sedikit ke belakang. Anda masih bisa melihatnya di Masjid Gede Jogjakarta atau Masjid Agung Kraton Surakarta.

Maksura menjadi lambang bahwa raja juga harus hadir beribadat bersama rakyat. Dan raja tidak boleh shalat di belakang, tapi harus di depan. Shaf pertama. Agar menjadi teladan sekaligus pandu. Namun tetap berada di belakang imam yang berdiri di mihrab. Artinya, raja sekalipun berkedudukan tinggi, haruslah menjadi makmum ulama.

***

Keraton atau kantor adipati, biasanya dibangun tak jauh dari keduanya. Kena apa? Karena raja haruslah dekat dengan rakyat di alun-alun dan dekat dengan Tuhan di masjid.

Kira-kira begitu.

MERTI DUSUN DI LERENG GUMUK WATU PAYUNG

Syarif Yahya
Setiap Senin Legi bulan Bakda Mulud, dusun Kemiri desa Getas kecamatan Kaloran rutin mengadakan acara Merti Dusun. Tahun ini, jatuh pada tanggal 16 Januari 2017. Acara selalu digelar dengan meriah sehari semalam. Pagi benar, Kemiri sudah sibuk. Para pedagang dolanan dan jajanan sudah berderet di jalan dusun. Anak-anak, seolah tak ingin ketinggalan untuk menjadi bagian dari kemeriahan itu, pun ramai-ramai mengirim surat izin untuk tidak masuk sekolah.

Merti berarti memberi sesaji kepada leluhur. Jadi Merti Dusun berarti memberi sesaji kepada leluhur dusun. Rangkaian acaranya, dimulai sejak pagi pukul 08:00 Wib  dengan menata sesaji dan metokan (ngetoake gendurenan). Acara itu dihadiri semua warga, baik Muslim, Buddha, maupun Kristen. Mbah Marwoto (74) selaku sesepuh memimpin acara tata sesaji, sekaligus menerangkan makna filosofinya. Harapanya, generasi muda memahami dan mau nguri-uri tradisi kampung kelahirannya. Aneka makanan yang terdiri dari makanan pokok, jajan pasar, bunga, dan buah-buahan di tata di atas daun jati. Kemudian sesaji-sesaji itu di letakkan di beberapa tempat. Di antaranya adalah di atas soko papat rumah Pak Kadus sebagai tuan rumah puncak acara di malam harinya. Selain sesaji di atas daun jati, tiap saka itu juga digantungi satu tandan pisang.

Selesai itu, acara metokan pun dimulai dengan beberapa sambutan. Sambutan rampung, Mbah Jumari (62) sebagai tokoh muslim menjadi pengabul atau yang mengutarakan hajat warga. Acara ditutup dengan doa oleh seorang mangalia (tokoh agama Buddha), Bapak Suryanto (49). Kemudian, diakhiri dengan makan bersama.

Sekitar pukul 11:00, warga kemudian berbondong-bondong menuju Tuk Sikencen. Tuk berarti sumber air, sikencen artinya kenci. Tuk Sikencen itulah yang memenuhi kebutuhan warga Kemiri akan air. Jarak tuk dari dusun sekitar 1 km, melalui jalan setapak yang mengular di lereng Gumuk Watu Payung, sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki. Gamelan, gong, dan kendang dipikul, tenongan disunggi, dan para penari yang sudah berkebaya harus menyingsingkan jarit melawan licin. Tampak pula para penari jaran kepang, warok dan punokawan. Acara dimulai dengan pembacaan mantra oleh beberapa tetua dengan menggengam menyan. Kemudian, menyan dibakar, lalu diteteskan ke sumber air. Mbah Marwoto menebar beras, bunga, dan uang receh. Warga ramai-ramai berebut sesaji. Dan dengan botol minuman mineral mereka mengambil air berkah untuk nanti dibawa pulang.

Gamelan ditabuh dan penari tayub segera melenggok. Namun sayang, baru satu atau dua gending, hujan turun dan segera melebat. Maka acara pun dipersingkat. Warga segera membubarkan diri dan harus pulang melewati jalan licin dan becek, di bawah guyur hujan yang melebat. Hujan baru reda ketika warga telah mencapai dusun. Pada pukul 15:00 ketika hujan kembali tumpah, tayub dimainkan lagi di panggung depan rumah Pak Kadus Waliyoto (47). Dekorasi yang terpampang bertuliskan: “Pentas Kesenian Tayub Krido Langen Bekso dalam rangka selametan dusun Kemiri, Getas, Kaloran.” Acara ini selesai pukul 17:00 ketika hujan belum juga usai.

Malamnya, adalah acara paling ditunggu. Beruntung, hujan sudah tidak turun barang gerimis. Tayub kembali dipentaskan, tetapi lebih ramai, karena selain warga dari dusun lain berdatangan, juga dihadiri beberapa tokoh penting, di antaranya: Bapak Wakil Bupati Temanggung Irawan Prasetyadi, Bapak Camat Kaloran Nizar Ardhani, Bapak Didik Nuryanto dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, juga Bapak Isnarwandi anggota DPRD Temanggung.

Sorak sorai penonton selalu tersaji ketika sampur penari mendarat di pundak penonton. Dan gelak tawa akan pecah jika penerima sampur menari dengan kaku dan wagu karena tidak bisa dan terbiasa. Saweran tentu saja ada. Amplop yang diberikan kepada penari, bagi warga Kemiri dianggap sebagai derma yang diyakini akan dibalas dengan rezeki yang lebih baik. Acara berlangsung meriah dan bubar menjelang subuh.