ALUN-ALUN DAN MASJID AGUNG


Jika dilacak, tradisi tata pusat kota dengan menempatkan kantor bupati, alun-alun, dan masjid agung dalam satu area, mungkin berhulu pada tradisi Mataram Islam. Tapi tidak menutup kemungkinan telah ada sejak semisal Jipang, Pajang, atau Demak.

Jawa adalah negeri simbol. Hampir segala sendi kehidupan, oleh orang Jawa disimbolkan dengan benda atau makhluk tertentu. Termasuk pula tata letak pusat kota. Dahulu, bahkan sampai sekarang, orang Mataram sangat menyakralkan Merapi dengan Kiai Semarnya dan segara Kidul dengan Nyai Roro Kidul-nya. Merapi yang vertikal sebagai pelambang karakter manusia Jawa yang bertuhan. Segara yang horisontal sebagai pelambang karakter manusia Jawa yang guyup nan rukun.

Dari situ, seorang arsitek keraton yang entah siapa namanya, dengan kepintarannya kemudian menata pusat kota, menjadi sebuah lambang. Karakter SEGARA yang luas dan guyup rukun dilambangkan dengan dibuatkan tanah lapang yang kemudian kita sebut sebagai alun-alun. Di sana, segala kelas rakyat bisa berkumpul secara akur. Dari pejabat sampai penjahat, dari kiai sampai penjaja birahi. Dan di tengah rakyat itu, raja kudu selalu hadir. Untuk itulah pohon RINGIN di tanam di sana sebagai simbol raja yang teduh mengayomi rakyatnya.

Karakter MERAPI yang menjulang, dilambangkan dengan masjid bermustaka gunungan yang merunjung, mengarah ke arah yang paling patut sebagai isyarat kemahatinggian Tuhan: atas. Masjid menjadi tempat bagi rakyat untuk bersujud, menyembah, mengadu, dan apapun urusan mereka dengan Tuhan. Dan seperti di alun-alun, raja juga harus hadir di sana. Maka dibuatkanlah MAKSURA. Sangkar kecil untuk shalat raja. Jika mimbar diletakkan di sebelah kanan mihrab sedikit ke belakang, maka maksura diletakkan di sebelah kiri sedikit ke belakang. Anda masih bisa melihatnya di Masjid Gede Jogjakarta atau Masjid Agung Kraton Surakarta.

Maksura menjadi lambang bahwa raja juga harus hadir beribadat bersama rakyat. Dan raja tidak boleh shalat di belakang, tapi harus di depan. Shaf pertama. Agar menjadi teladan sekaligus pandu. Namun tetap berada di belakang imam yang berdiri di mihrab. Artinya, raja sekalipun berkedudukan tinggi, haruslah menjadi makmum ulama.

***

Keraton atau kantor adipati, biasanya dibangun tak jauh dari keduanya. Kena apa? Karena raja haruslah dekat dengan rakyat di alun-alun dan dekat dengan Tuhan di masjid.

Kira-kira begitu.

MERTI DUSUN DI LERENG GUMUK WATU PAYUNG

Syarif Yahya
Setiap Senin Legi bulan Bakda Mulud, dusun Kemiri desa Getas kecamatan Kaloran rutin mengadakan acara Merti Dusun. Tahun ini, jatuh pada tanggal 16 Januari 2017. Acara selalu digelar dengan meriah sehari semalam. Pagi benar, Kemiri sudah sibuk. Para pedagang dolanan dan jajanan sudah berderet di jalan dusun. Anak-anak, seolah tak ingin ketinggalan untuk menjadi bagian dari kemeriahan itu, pun ramai-ramai mengirim surat izin untuk tidak masuk sekolah.

Merti berarti memberi sesaji kepada leluhur. Jadi Merti Dusun berarti memberi sesaji kepada leluhur dusun. Rangkaian acaranya, dimulai sejak pagi pukul 08:00 Wib  dengan menata sesaji dan metokan (ngetoake gendurenan). Acara itu dihadiri semua warga, baik Muslim, Buddha, maupun Kristen. Mbah Marwoto (74) selaku sesepuh memimpin acara tata sesaji, sekaligus menerangkan makna filosofinya. Harapanya, generasi muda memahami dan mau nguri-uri tradisi kampung kelahirannya. Aneka makanan yang terdiri dari makanan pokok, jajan pasar, bunga, dan buah-buahan di tata di atas daun jati. Kemudian sesaji-sesaji itu di letakkan di beberapa tempat. Di antaranya adalah di atas soko papat rumah Pak Kadus sebagai tuan rumah puncak acara di malam harinya. Selain sesaji di atas daun jati, tiap saka itu juga digantungi satu tandan pisang.

Selesai itu, acara metokan pun dimulai dengan beberapa sambutan. Sambutan rampung, Mbah Jumari (62) sebagai tokoh muslim menjadi pengabul atau yang mengutarakan hajat warga. Acara ditutup dengan doa oleh seorang mangalia (tokoh agama Buddha), Bapak Suryanto (49). Kemudian, diakhiri dengan makan bersama.

Sekitar pukul 11:00, warga kemudian berbondong-bondong menuju Tuk Sikencen. Tuk berarti sumber air, sikencen artinya kenci. Tuk Sikencen itulah yang memenuhi kebutuhan warga Kemiri akan air. Jarak tuk dari dusun sekitar 1 km, melalui jalan setapak yang mengular di lereng Gumuk Watu Payung, sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki. Gamelan, gong, dan kendang dipikul, tenongan disunggi, dan para penari yang sudah berkebaya harus menyingsingkan jarit melawan licin. Tampak pula para penari jaran kepang, warok dan punokawan. Acara dimulai dengan pembacaan mantra oleh beberapa tetua dengan menggengam menyan. Kemudian, menyan dibakar, lalu diteteskan ke sumber air. Mbah Marwoto menebar beras, bunga, dan uang receh. Warga ramai-ramai berebut sesaji. Dan dengan botol minuman mineral mereka mengambil air berkah untuk nanti dibawa pulang.

Gamelan ditabuh dan penari tayub segera melenggok. Namun sayang, baru satu atau dua gending, hujan turun dan segera melebat. Maka acara pun dipersingkat. Warga segera membubarkan diri dan harus pulang melewati jalan licin dan becek, di bawah guyur hujan yang melebat. Hujan baru reda ketika warga telah mencapai dusun. Pada pukul 15:00 ketika hujan kembali tumpah, tayub dimainkan lagi di panggung depan rumah Pak Kadus Waliyoto (47). Dekorasi yang terpampang bertuliskan: “Pentas Kesenian Tayub Krido Langen Bekso dalam rangka selametan dusun Kemiri, Getas, Kaloran.” Acara ini selesai pukul 17:00 ketika hujan belum juga usai.

Malamnya, adalah acara paling ditunggu. Beruntung, hujan sudah tidak turun barang gerimis. Tayub kembali dipentaskan, tetapi lebih ramai, karena selain warga dari dusun lain berdatangan, juga dihadiri beberapa tokoh penting, di antaranya: Bapak Wakil Bupati Temanggung Irawan Prasetyadi, Bapak Camat Kaloran Nizar Ardhani, Bapak Didik Nuryanto dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, juga Bapak Isnarwandi anggota DPRD Temanggung.

Sorak sorai penonton selalu tersaji ketika sampur penari mendarat di pundak penonton. Dan gelak tawa akan pecah jika penerima sampur menari dengan kaku dan wagu karena tidak bisa dan terbiasa. Saweran tentu saja ada. Amplop yang diberikan kepada penari, bagi warga Kemiri dianggap sebagai derma yang diyakini akan dibalas dengan rezeki yang lebih baik. Acara berlangsung meriah dan bubar menjelang subuh.



NGAJI LITERASI



(di SMA Nur Lintang)
Pada pukul 13.40 (21-11-2016), kami, penggiat literasi komunitas Rumah Pena Kita, tiba di SMA Nur Lintang, Ponpes Karangsantri, Bandung Gede, Kedu, Temanggung. Barisan rapi pohon ketela menyambut kami sebelum memasuki gerbang sekolah. Beberapa santriwati yang berpinggang kecil karena belum diwati, menerima kami dengan segenap keramahan. Sementara, nun di barat daya sana, Sumbing yang mencocok mega, seolah ingin sekali menggagahi kami yang berada di kakinya. Dan matahari, jemawa memenangi pagelaran siang. Selanjutnya, kami diterima langsung oleh muasis Nur Lintang; KH. Roel Yaqien dalam suasana sejuk. Sesejuk wajahnya yang dirimbuni bulu cambang.
Pukul 14.30, Ngaji Literasi dimulai. Molor tigapuluh menit dari rencana. Dan itu biasa. Acara diikuti sekitar 30 peserta. Terdiri dari anak-anak Rumah Pena Kita, siswi dan guru beberapa sekolah setempat, serta mahasiswa Stainu Temanggung. Kaum hawa medominasi acara itu. Sementara peserta pria, hanya sepertiganya, dan memilih duduk di bangku belakang. Dan itu adalah siasat umum mereka. Sebab jika duduk di depan mereka tidak punya banyak alasan menoleh ke belakang. Untuk itu, mereka memilih duduk di belakang, karena meski hanya melihat punggung, tapi kan lumayan.
Beruntung saya bukanlah bagian dari para lelaki naas yang duduk di belakang itu. Saya menjadi moderator, berdiri di depan dengan kemerdekaan penuh menebar pandang ke segala penjuru. Bahkan dengan leluasa mendaratkan tatap ke setiap hidung pesek khas makhluk Sumbing milik mereka.
Pak Abdullah Faqih Dewantoro, Pimred Buletin Kontinu, saya panggil untuk memberi sambutan sebelum ngaji dimulai. Dengan suara wibawanya, beliau menandaskan bahwa Ngaji Literasi ini adalah bagian dari kelanjutan kegiatan literasi Komunitas Rumah Pena Kita yang bermarkas di Studio Santika FM. Serta sebagai sarana pembelajaran kepenulisan anak-anak redaksi Kontinu. Harapan beliau, Ngaji Literasi bisa diadakan bukan hanya sekali. Karena literasi mencakup banyak materi.
Gus Faiz Syauqy, yang seorang S.I.Kom lulusan UII, duduk menghadap laptop dan dengan cakap mengoperatori slide per slide materi. Meski, siang itu, wajahnya tampak kurang bergairah lantaran hari pernikahannya semakin dekat, sedang gajinya bulan ini belum cukup untuk menebus seperangkat alat salat.


Pak Andy Yoes Nugroho, adalah pemateri di acara itu. Setelah saya panggil, beliau duduk di depan didampingi Rakib di samping kanannya dan Atit di samping kirinya, yang tengah sibuk menDATA amalnya (yang kebanyakan buruk), guna menyusun INFORMASI dan PENGETAHUAN sebagai penentu KEBIJAKAN Ilahi di yaumilhisab nanti.
Salah satu materinya, tidaklah jauh berbeda dengan metodologi hirarki literasi yang digunakan Rakib-Atit dalam mencatati amalnya. Yaitu bahwa unsur terpenting dalam penyusunan sebuah literasi adalah: DATA (kumpulan fakta), INFORMASI (data yang terinterpretasi), PENGETAHUAN (paduan pengertian dari informasi), dan KEBIJAKAN (pemecahan masalah).
Contohnya begini: seorang dokter membutuhkan data, informasi, dan pengetahuan, agar ia bisa menentukan sebuah kebijakan untuk pasiennya. Sebagai tamsil, seorang pasien didata sebagai berikut:
1. Nama (sebut saja) Ja'far Aula Temanggung Agen
2. Usia 40 tahun
3. Merasakan sakit di perut bagian bawah dan selangkangan
4. Status duda
Dari data itu, seorang dokter mampu mendapatkan informasi bahwa Jakfar, karena lama menduda, mengalami pengendapan sperma oleh sebab ejakulasi yang tidak teratur dan tidak rutin. Lalu, dari informasi itu, dokter mendapat pengetahuan bahwa Jakfar pengalami penyumbatan prostat. Kemudian dokter memberi kebijakan agar Jakfar menikah lagi sebagai pemecah masalah.
Nah, seperti itulah susunan pengetahuan yang terpenuhi dalam sebuah literasi. Acara saya tutup pukul 16.00, dan setelah shalat, kami pulang begitu saja MENINGGALKAN sampah snack dan puntung rokok di ruang ngaji, karena hadis Nabi: “Sebagian dari kebaikan islamnya seseorang, adalah MENINGGALKAN perkara yang tidak bermanfaat.”
Sekian. Sampai berjumpa lagi di Ngaji Literasi selanjutnya.

ROMANSA GUMUK PAYUNG


Mereka menyebutnya Meto’an Ketan Juroh. Meto’an diambil dari kata ‘metu’ (keluar), maksudnya makanan yang dikeluarkan untuk acara tertentu. Ketan-juroh ini menjadi spesial karena dijadikan hidangan utama di acara pirukunan tiap menyambut Maulid Nabi di desa Kemiri, Kaloran.
Malam 12 Rabiul Awal, saya berkesempatan mengikuti Muludan di sana. Tepat setelah Isya, sebelum Albarzanji digemakan toa masjid, saya diajak kiai setempat untuk mengikuti acara Meto’an Ketan-Juroh di rumah Pak Kadus terlebih dulu. Para lelaki sudah berkumpul di situ, membawa tumpukan rantang dua atau tiga. Selain mereka, ada pula dua ekor anjing di teras. Satunya berwarna hitam dan seekor lagi warnanya hampir sama dengan warna seragam pegawai negeri sipil. Saya menyapanya dengan senyum dan alhamdulillah dibalas tiga gonggongan.
Add caption


Ramah sekali Pak Kadus menyambut saya. Bajunya batik kawung, pecinya hitam luwes di atas kepala. Setelah berbasa-basi sekian menit, Pak Kadus membuka acara dengan beberapa salam, yang mengingatkan saya pada salamnya Pak Prabowo. Tapi ini agak beda. Pertama; ‘assalamualaikum’, kedua ‘nammo buddaya’ dijawab ‘sado’ tiga kali, dan ‘salam sejahtera’. Yang terakhir ini mungkin bagi umat kristiani. Sekali lagi, warga Kemiri itu terdiri dari umat Islam, Buddha, dan Kristen.
Pirukunan menjadi tema utama sambutan Pak Kadus malam itu. Hanya sebentar tidak lebih dari seratus patah kata. Seorang sesepuh Muslim berpeci peot berkacamata tebal tiga mili-an, bertugas ‘ngabulaken’, sedang kiai di samping saya bertugas berdoa dengan bahasa Arab. Saya dengar doanya tidak begitu fasih, bahkan ada doa bagi pengantin juga yang terselip di situ.
Usai itu, kami bareng-bareng menikmati ketan-juroh. Rasanya tidak asing. Tapi kebersamaan malam itu betul-betul meresap membumbui ketan-juroh menjadi sedikit lebih nikmat. Sambil makan, Pak Kadus yang beragama Buddha, tiba-tiba mencolek saya untuk mengajak bicara. Ternyata, Pak Kadus meminta restu dan doa karena anaknya baru saja masuk Islam. Saya diminta mendoakannya. Saya melongo dan bingung persis bupati ketulup.
Seorang lagi di samping saya, bercelana training bertuliskan sebuah almamater sekolah menengah di Jakarta, mengenakan kaos hadiah cat tembok, kepalanya botak, mengatakan bahwa anak-anak Buddha di Kemiri, biasa ikut mengaji sore di rumah Pak Kiai, meski belum bersyahadat. Dan tiap malamnya juga masih mengikuti kebaktian di Vihara. Saya tambah mlongo dan nyaris sinting mendengarnya. Tapi justru itu unik menurut saya.
Katanya lagi, anak-anak Buddha yang pernah ikut ngaji, akan masuk Islam kalau sudah sekolah menengah, atau sudah bekerja, atau ketika menikah. Malah, ada yang sudah fasih membaca Juz Ama tapi tidak masuk Islam. Hahaha, saya tertawa sopan sebagai ungkapan rasa kagum bercampur geli. Orang botak itu, terus bercerita sampai saya terlena dan tak terasa telah habis ketan sepiring tambah jenang candil setengah mangkuk.
Saya dan warga muslim kemudian menuju masjid untuk membaca Albarzanji. Memanjati jalan menanjak. Menembus malam yang tak hening oleh jangkrik yang mengerik dan para anjing yang menggongong. Guk..guk..guk.. begitu


TOLERANSI DI KAKI GUMUK PAYUNG (Maulid Lintas Agama)


Sore tadi untuk kali kedua saya melakukan riset toleransi beragama, di sebuah dusun kecil di bawah Gunung Payung: Ds Kemiri, Getas, Kaloran. Memasuki Kemiri saya harus menaklukkan tanjakan yang sekaligus kelokan. Beberapa ekor anjing menyambut saya dengan julur lidah penuh takzim.
Saya langsung menuju rumah seorang kiai setempat, melewati Vihara Damma Sosila dan Gereja Filadelfia. Dua ekor anjing berlari-lari curiga di belakang saya. Ketika saya masuk rumah kiai, dua anjing itu terbengong di tengah jalan, lalu mengonggong sekali kemudian pergi. Mungkin ia mengucap sebuah salam. Dan saya baru tahu, ternyata anjing tahu diri bahwa ia tidak boleh masuk rumah seorang kiai.
Banyak hal yang saya bicarakan dengan kiai itu. Pada intinya, adalah bahwa perlu sekali adanya formulasi syariat khusus untuk diterapkan di masyarakat plural seperti Kemiri. Mengingat, problem sosial-keagamaan di sana sama sekali berbeda dengan daerah lain. Tamsilnya, Perayaan Maulud pada setiap tahunnya. Di mulai dari pembacaan Barjanji sejak tanggal 1 Rabiul Awal, kemudian menggadakan acara Ambengan Ketan-Juroh pada malam ke-12. Panitia Ambengan selalu mengundang pemeluk Buddha dan Kristen sebagai bentuk kerukunan. Acaranya adalah makan bersama dengan menu Ketan dicampur Juroh (air gula Jawa). Biasanya diadakan di salah satu rumah warga selepas Isya. Setelah selesai dan umat non muslim pulang, maka barulah umat Muslim menuju masjid untuk menghatamkan Barzanji.
Siangnya, biasanya diadakan pengajian dalam rangka Maulid Nabi dengan mengundang seorang Da'i. Lagi-lagi, panitia akan mengundang seluruh warga apapun agamanya. Dan mereka yang diundang akan datang dengan pakaian muslim-muslimah dengan peci dan jilbab. Baik itu orang Islam, Buddha, Kristen, dan Katoliknya.
Ada juga tamu tak diundang yang pasti datang, yaitu Anjing. Para anjing biasanya mengikuti pengajian di bawah panggung, di pinggir pagar masjid, atau di bawah kursi pengunjung. Muslim Kemiri yang taat, sudah terbiasa mempraktekkan bersuci dengan tujuh basuhan yang salah satunya dicampur debu. Muslim yang lumayan taat, tidak menganggap anjing sebagai najis. Muslim yang kurang taat, masih memelihara beberapa anjing di rumah. Sebagai pekerjaan sampingan.
Oh ya, orang non muslim Kemiri, memakai jilbab bukan hanya di perayaan hari besar Islam, tetapi juga ketika meladang. Alasannya bukan menutup aurat, tetapi untuk menangkis serangan serangga jalang seperti nyamuk.
Jadi di sana. Jika Anda bertemu orang berjilbab, jangan buru-buru ucapkan salam sebab belum tentu Muslim. Jika Anda bertemu orang dikawal anjing jangan buru-buru menuduhnya kafir sebab belum tentu ia kafir. Anjing dan jilbab sepenuhnya bukan sebuah simbol, melainkan sejenis kearifan lokal. Anjing termasuk jenis ternak di Kemiri. Biasanya dijual ke pedagang, atau disembelih dan di makan di hari-hari besar. Orang Buddha khususnya, biasanya ikut merayakan Idul Fitri berikut baju baru dan aneka makanan di ruang tamu. Selain itu, mereka biasanya menyembelih anjing lalu dipanggang atau dimasak opor untuk hidangan keluarga.
Di acara pengajian semisal Maulid, ada beberapa hal yang harus dipatuhi seorang Da'i dalam tausiyahnya, yaitu tidak menyingung-nyinggung BERHALA, ZAMAN JAHILIYAH, ANJING, dan PERNIKAHAN BEDA AGAMA. Sebab itu bisa merusak toleransi yang telah dibina.

GENDUK

Genduk adalah gadis fiksi asal lereng Sindoro yang sejak kelahirannya – setahun sebelum Gestapu meletus – tak sejengkal pun melangkahkan kakinya melewati batas dusun Ringinsari. Ia memiliki teman seekor gangsir dan beberapa teman sekolah. Ia pula memiliki sepohon jambu batu di pelataran rumahnya. Pohon itu selain meneduhi juga menjadi jendela menuju dunia luarnya. Ia gemar sekali memanjatinya sekadar untuk bisa melihat dunia luar; kota Parakan, Merapi, dan Merbabu nun jauh di sana. 


Oleh penulisnya - Sundari Mardjuki - mulanya ia ‘ditakdirkan’ menjadi gadis yang cukup terlunta. Dibesarkan di sebuah omah gedhek. Mungkin segi empat, dengan anyaman galar sebagai dindingnya. Bapaknya adalah misteri. Pergi dan tak pernah kembali. Biyungnya seorang petani tembakau. Wanita peladang yang mengerjakan pekerjaan lelaki. Ia tangguh dan sebenarnya cantik. Namun, terik matahari di ladang dan kemelaratan telah merubahnya menjadi muram. Belum lagi utang yang nglimolasi bahkan ngwolulasi, telah membuat wajahnya menjadi mirip pantat kuali.

Tema utama dalam perikehidupan Genduk adalah pencarian sosok bapaknya dan kehidupan petani tembakau yang problematis. Plot novel ini lancar nan urut. Terdiri dari susunan alenia-alenia yang asyik. Beberapa halaman merekam bagaimana kehidupan dusun di tahun 70-an dijalani. Gelap tanpa listrik. Televisi sebuah milik Pak Lurah menjadi hiburan orang sekampung. Ketoprak Siswo Budoyo adalah acara favorit. Dan Dunia Dalam Berita menjadi satu-satunya informasi. Alur ceritanya juga tidak kering, lantaran lagu dolanan, mantra jawa yang kerap dirapal biYung, dan puisi yang menegasi karakter cerdas seorang Genduk, akan menghadirkan kembali segenap kenangan kita di masa kanak.

Konflik diletuskan di halaman pertengahan. Setelah penulis dengan cukup detail menceritai kita bagaimana tembakau dipetiki, diperam, dirajang, dan dijemur, penulis kemudian bertutur tentang bagaimana sebetul-betulnya petani tembakau terjebak dalam lingkaran setan perdagangan tembakau. Petani ditumbalkan. Mereka buta harga. Taipan di kota yang menentukannya. Itupun melalui perantara disebut Gaok. Dan gaok, yang dalam hal ini diperankan oleh Kaduk (yang oleh Genduk kerap disebut; celeng), mempermainkan petani dengan bualan. Petani yang naas, bisa rugi lusinan keranjang. Bahkan, Genduk lebih dari itu, demi tembakau, ia harus dijamahi Kaduk di Tuksari.

Yang apes dan tidak tegar, bisa bernasib seperti Pak Wondo yang mati ngendat di sebuah pohon beringin. Yang untung, bisa bernasib seperti Sumi anaknya Pak Sis yang bisa mengenakan rok warna orange. Sebuah warna langka saat itu. Atau seperti Kisut yang saking senangnya, buru-buru membeli kulkas. Setiba kulkas di rumah, ia baru sadar bahwa di dusunnya, listrik belum mengalir. Sikak!

Ah, sudahlah, beli dan baca saja novelnya, agar Anda tahu bagaimana nasib bapak Genduk dan bagaimana kelak nasib para petani tembakau, juga nasib Genduk dan biYungnya di Sindoro sana.

OASE JIWA



Karya Kanthongumur
Melalui kata oase yang dipilih sebagai judul, penulis buku ini, tampak sekali sengaja menggugah kita untuk sekadar sadar bahwa jiwa kita sebetul-betulnya kerontang. Laksana gurun Hijaz yang langitnya tak banyak memiliki awan penghasil butir hujan. Memang di selatan Hijaz, terbentang luas samudera yang memungkinkan mengirim uapan air ke langit gurun, namun, angin Samum dari ngarai dan padang, selalu saja menghalaunya untuk kembali ke selatan. Maka keringlah gurun karena hujan yang jarang.
Jadi, oase adalah sebidang kehidupan di tengah wilayah luas yang tak ramah lagi mengancam. Dan buku ini, sepenuhnya merefleksikan maknawi oase itu. Sebab isi buku ini, sepenuhnya merupakan rangkuman pengetahuan dan pengalaman jiwa Kiai Sepuh yang ditimba dari laku kehidupan yang dijalani dengan sebuah kematangan spiritual. Ibarat air, jika isi buku ini kita percik-percikkan ke hamparan jiwa kita yang tandus, setidaknya akan merangsang sebuah kehidupan, sebagaimana oase menghidupi akasia, zakum, atau tin.
Penulis, yang saya kenal karena dulu sekamar, adalah sosok yang saya yakini benar-benar paham akan kehidupan berikut arah kearifan fikir Maha Guru Maimun, oleh karena saking lawasnya ia menjadi orang dekat sebagai khadim yang setia. Itu bisa anda buktikan dengan melihat banyaknya koleksi foto penulis bersama Maha Guru Maimun di akun facebooknya.
Isi buku yang ditulis dengan keprihatinan dan tirakat menahan kelajangan di tengah proses perubahan wajah penulis yang terus berjalan menuju penuaan ini, sebagian besar berupa tafsir tematik yang dituturkan Maha Guru Maimun di beberapa pengajian beliau. Ada beberapa yang disarikan dari kitab karya beliau, seperti metode penghitungan awal bulan Hijriyah yang disarikan dari kitab Nususul Ahyar, dan 14 bait Kasidah Muhammadiyah karya Al-Bushiri yang ditambahi 14 bait karya beliau yang disarikan dari kitab Maslak Tanasuk Al-Maliki. Ada yang ditranskrip dari pengajian Ihya' Ulumudin yang digelar saban pagi. Juga ada yang dipetik dari sebuah mauizah yang disampaikan dalam sebuah akad nikah.
Buku ini, meski sarat isi, namun hemat saya masih kurang memenuhi penyajian susastra. Reka dan susun bahasa masih belum menyentuh estetika. Sehingga buku ini hanya bisa digali dari sisi isi, tapi belum bisa dinikmati sebagai kreasi literasi.
Sudah saatnya santri untuk banyak belajar estetika kepenulisan dari buku karya penulis hebat. Selama ini, santri sangat alergi dengan buku. Buku bahkan dianggap sebagai perantara kesesatan. Padahal, membaca buku bukan berarti aktifitas menggali isi semata, tapi jua bisa sekadar merekam bahasa dan bagaimana tulisan dihidupkan melalui kerajinan merangkai kata.
Kemiskinan ilmu merangkai kata yang melanda kalangan santri, akan berdampak pada rendahnya angka minat khalayak dalam membaca karya-karya mereka, padahal sejatinya, karya para santri sangat berisi dan memanfaati. Jadi, sebenarnya, ini hanya soal kemasan. Sebagaimana rumus penjual merayu pembeli.
Lebaksiu 29 November 2016.