NGAJI LITERASI



(di SMA Nur Lintang)
Pada pukul 13.40 (21-11-2016), kami, penggiat literasi komunitas Rumah Pena Kita, tiba di SMA Nur Lintang, Ponpes Karangsantri, Bandung Gede, Kedu, Temanggung. Barisan rapi pohon ketela menyambut kami sebelum memasuki gerbang sekolah. Beberapa santriwati yang berpinggang kecil karena belum diwati, menerima kami dengan segenap keramahan. Sementara, nun di barat daya sana, Sumbing yang mencocok mega, seolah ingin sekali menggagahi kami yang berada di kakinya. Dan matahari, jemawa memenangi pagelaran siang. Selanjutnya, kami diterima langsung oleh muasis Nur Lintang; KH. Roel Yaqien dalam suasana sejuk. Sesejuk wajahnya yang dirimbuni bulu cambang.
Pukul 14.30, Ngaji Literasi dimulai. Molor tigapuluh menit dari rencana. Dan itu biasa. Acara diikuti sekitar 30 peserta. Terdiri dari anak-anak Rumah Pena Kita, siswi dan guru beberapa sekolah setempat, serta mahasiswa Stainu Temanggung. Kaum hawa medominasi acara itu. Sementara peserta pria, hanya sepertiganya, dan memilih duduk di bangku belakang. Dan itu adalah siasat umum mereka. Sebab jika duduk di depan mereka tidak punya banyak alasan menoleh ke belakang. Untuk itu, mereka memilih duduk di belakang, karena meski hanya melihat punggung, tapi kan lumayan.
Beruntung saya bukanlah bagian dari para lelaki naas yang duduk di belakang itu. Saya menjadi moderator, berdiri di depan dengan kemerdekaan penuh menebar pandang ke segala penjuru. Bahkan dengan leluasa mendaratkan tatap ke setiap hidung pesek khas makhluk Sumbing milik mereka.
Pak Abdullah Faqih Dewantoro, Pimred Buletin Kontinu, saya panggil untuk memberi sambutan sebelum ngaji dimulai. Dengan suara wibawanya, beliau menandaskan bahwa Ngaji Literasi ini adalah bagian dari kelanjutan kegiatan literasi Komunitas Rumah Pena Kita yang bermarkas di Studio Santika FM. Serta sebagai sarana pembelajaran kepenulisan anak-anak redaksi Kontinu. Harapan beliau, Ngaji Literasi bisa diadakan bukan hanya sekali. Karena literasi mencakup banyak materi.
Gus Faiz Syauqy, yang seorang S.I.Kom lulusan UII, duduk menghadap laptop dan dengan cakap mengoperatori slide per slide materi. Meski, siang itu, wajahnya tampak kurang bergairah lantaran hari pernikahannya semakin dekat, sedang gajinya bulan ini belum cukup untuk menebus seperangkat alat salat.


Pak Andy Yoes Nugroho, adalah pemateri di acara itu. Setelah saya panggil, beliau duduk di depan didampingi Rakib di samping kanannya dan Atit di samping kirinya, yang tengah sibuk menDATA amalnya (yang kebanyakan buruk), guna menyusun INFORMASI dan PENGETAHUAN sebagai penentu KEBIJAKAN Ilahi di yaumilhisab nanti.
Salah satu materinya, tidaklah jauh berbeda dengan metodologi hirarki literasi yang digunakan Rakib-Atit dalam mencatati amalnya. Yaitu bahwa unsur terpenting dalam penyusunan sebuah literasi adalah: DATA (kumpulan fakta), INFORMASI (data yang terinterpretasi), PENGETAHUAN (paduan pengertian dari informasi), dan KEBIJAKAN (pemecahan masalah).
Contohnya begini: seorang dokter membutuhkan data, informasi, dan pengetahuan, agar ia bisa menentukan sebuah kebijakan untuk pasiennya. Sebagai tamsil, seorang pasien didata sebagai berikut:
1. Nama (sebut saja) Ja'far Aula Temanggung Agen
2. Usia 40 tahun
3. Merasakan sakit di perut bagian bawah dan selangkangan
4. Status duda
Dari data itu, seorang dokter mampu mendapatkan informasi bahwa Jakfar, karena lama menduda, mengalami pengendapan sperma oleh sebab ejakulasi yang tidak teratur dan tidak rutin. Lalu, dari informasi itu, dokter mendapat pengetahuan bahwa Jakfar pengalami penyumbatan prostat. Kemudian dokter memberi kebijakan agar Jakfar menikah lagi sebagai pemecah masalah.
Nah, seperti itulah susunan pengetahuan yang terpenuhi dalam sebuah literasi. Acara saya tutup pukul 16.00, dan setelah shalat, kami pulang begitu saja MENINGGALKAN sampah snack dan puntung rokok di ruang ngaji, karena hadis Nabi: “Sebagian dari kebaikan islamnya seseorang, adalah MENINGGALKAN perkara yang tidak bermanfaat.”
Sekian. Sampai berjumpa lagi di Ngaji Literasi selanjutnya.

ROMANSA GUMUK PAYUNG


Mereka menyebutnya Meto’an Ketan Juroh. Meto’an diambil dari kata ‘metu’ (keluar), maksudnya makanan yang dikeluarkan untuk acara tertentu. Ketan-juroh ini menjadi spesial karena dijadikan hidangan utama di acara pirukunan tiap menyambut Maulid Nabi di desa Kemiri, Kaloran.
Malam 12 Rabiul Awal, saya berkesempatan mengikuti Muludan di sana. Tepat setelah Isya, sebelum Albarzanji digemakan toa masjid, saya diajak kiai setempat untuk mengikuti acara Meto’an Ketan-Juroh di rumah Pak Kadus terlebih dulu. Para lelaki sudah berkumpul di situ, membawa tumpukan rantang dua atau tiga. Selain mereka, ada pula dua ekor anjing di teras. Satunya berwarna hitam dan seekor lagi warnanya hampir sama dengan warna seragam pegawai negeri sipil. Saya menyapanya dengan senyum dan alhamdulillah dibalas tiga gonggongan.
Add caption


Ramah sekali Pak Kadus menyambut saya. Bajunya batik kawung, pecinya hitam luwes di atas kepala. Setelah berbasa-basi sekian menit, Pak Kadus membuka acara dengan beberapa salam, yang mengingatkan saya pada salamnya Pak Prabowo. Tapi ini agak beda. Pertama; ‘assalamualaikum’, kedua ‘nammo buddaya’ dijawab ‘sado’ tiga kali, dan ‘salam sejahtera’. Yang terakhir ini mungkin bagi umat kristiani. Sekali lagi, warga Kemiri itu terdiri dari umat Islam, Buddha, dan Kristen.
Pirukunan menjadi tema utama sambutan Pak Kadus malam itu. Hanya sebentar tidak lebih dari seratus patah kata. Seorang sesepuh Muslim berpeci peot berkacamata tebal tiga mili-an, bertugas ‘ngabulaken’, sedang kiai di samping saya bertugas berdoa dengan bahasa Arab. Saya dengar doanya tidak begitu fasih, bahkan ada doa bagi pengantin juga yang terselip di situ.
Usai itu, kami bareng-bareng menikmati ketan-juroh. Rasanya tidak asing. Tapi kebersamaan malam itu betul-betul meresap membumbui ketan-juroh menjadi sedikit lebih nikmat. Sambil makan, Pak Kadus yang beragama Buddha, tiba-tiba mencolek saya untuk mengajak bicara. Ternyata, Pak Kadus meminta restu dan doa karena anaknya baru saja masuk Islam. Saya diminta mendoakannya. Saya melongo dan bingung persis bupati ketulup.
Seorang lagi di samping saya, bercelana training bertuliskan sebuah almamater sekolah menengah di Jakarta, mengenakan kaos hadiah cat tembok, kepalanya botak, mengatakan bahwa anak-anak Buddha di Kemiri, biasa ikut mengaji sore di rumah Pak Kiai, meski belum bersyahadat. Dan tiap malamnya juga masih mengikuti kebaktian di Vihara. Saya tambah mlongo dan nyaris sinting mendengarnya. Tapi justru itu unik menurut saya.
Katanya lagi, anak-anak Buddha yang pernah ikut ngaji, akan masuk Islam kalau sudah sekolah menengah, atau sudah bekerja, atau ketika menikah. Malah, ada yang sudah fasih membaca Juz Ama tapi tidak masuk Islam. Hahaha, saya tertawa sopan sebagai ungkapan rasa kagum bercampur geli. Orang botak itu, terus bercerita sampai saya terlena dan tak terasa telah habis ketan sepiring tambah jenang candil setengah mangkuk.
Saya dan warga muslim kemudian menuju masjid untuk membaca Albarzanji. Memanjati jalan menanjak. Menembus malam yang tak hening oleh jangkrik yang mengerik dan para anjing yang menggongong. Guk..guk..guk.. begitu


TOLERANSI DI KAKI GUMUK PAYUNG (Maulid Lintas Agama)


Sore tadi untuk kali kedua saya melakukan riset toleransi beragama, di sebuah dusun kecil di bawah Gunung Payung: Ds Kemiri, Getas, Kaloran. Memasuki Kemiri saya harus menaklukkan tanjakan yang sekaligus kelokan. Beberapa ekor anjing menyambut saya dengan julur lidah penuh takzim.
Saya langsung menuju rumah seorang kiai setempat, melewati Vihara Damma Sosila dan Gereja Filadelfia. Dua ekor anjing berlari-lari curiga di belakang saya. Ketika saya masuk rumah kiai, dua anjing itu terbengong di tengah jalan, lalu mengonggong sekali kemudian pergi. Mungkin ia mengucap sebuah salam. Dan saya baru tahu, ternyata anjing tahu diri bahwa ia tidak boleh masuk rumah seorang kiai.
Banyak hal yang saya bicarakan dengan kiai itu. Pada intinya, adalah bahwa perlu sekali adanya formulasi syariat khusus untuk diterapkan di masyarakat plural seperti Kemiri. Mengingat, problem sosial-keagamaan di sana sama sekali berbeda dengan daerah lain. Tamsilnya, Perayaan Maulud pada setiap tahunnya. Di mulai dari pembacaan Barjanji sejak tanggal 1 Rabiul Awal, kemudian menggadakan acara Ambengan Ketan-Juroh pada malam ke-12. Panitia Ambengan selalu mengundang pemeluk Buddha dan Kristen sebagai bentuk kerukunan. Acaranya adalah makan bersama dengan menu Ketan dicampur Juroh (air gula Jawa). Biasanya diadakan di salah satu rumah warga selepas Isya. Setelah selesai dan umat non muslim pulang, maka barulah umat Muslim menuju masjid untuk menghatamkan Barzanji.
Siangnya, biasanya diadakan pengajian dalam rangka Maulid Nabi dengan mengundang seorang Da'i. Lagi-lagi, panitia akan mengundang seluruh warga apapun agamanya. Dan mereka yang diundang akan datang dengan pakaian muslim-muslimah dengan peci dan jilbab. Baik itu orang Islam, Buddha, Kristen, dan Katoliknya.
Ada juga tamu tak diundang yang pasti datang, yaitu Anjing. Para anjing biasanya mengikuti pengajian di bawah panggung, di pinggir pagar masjid, atau di bawah kursi pengunjung. Muslim Kemiri yang taat, sudah terbiasa mempraktekkan bersuci dengan tujuh basuhan yang salah satunya dicampur debu. Muslim yang lumayan taat, tidak menganggap anjing sebagai najis. Muslim yang kurang taat, masih memelihara beberapa anjing di rumah. Sebagai pekerjaan sampingan.
Oh ya, orang non muslim Kemiri, memakai jilbab bukan hanya di perayaan hari besar Islam, tetapi juga ketika meladang. Alasannya bukan menutup aurat, tetapi untuk menangkis serangan serangga jalang seperti nyamuk.
Jadi di sana. Jika Anda bertemu orang berjilbab, jangan buru-buru ucapkan salam sebab belum tentu Muslim. Jika Anda bertemu orang dikawal anjing jangan buru-buru menuduhnya kafir sebab belum tentu ia kafir. Anjing dan jilbab sepenuhnya bukan sebuah simbol, melainkan sejenis kearifan lokal. Anjing termasuk jenis ternak di Kemiri. Biasanya dijual ke pedagang, atau disembelih dan di makan di hari-hari besar. Orang Buddha khususnya, biasanya ikut merayakan Idul Fitri berikut baju baru dan aneka makanan di ruang tamu. Selain itu, mereka biasanya menyembelih anjing lalu dipanggang atau dimasak opor untuk hidangan keluarga.
Di acara pengajian semisal Maulid, ada beberapa hal yang harus dipatuhi seorang Da'i dalam tausiyahnya, yaitu tidak menyingung-nyinggung BERHALA, ZAMAN JAHILIYAH, ANJING, dan PERNIKAHAN BEDA AGAMA. Sebab itu bisa merusak toleransi yang telah dibina.

GENDUK

Genduk adalah gadis fiksi asal lereng Sindoro yang sejak kelahirannya – setahun sebelum Gestapu meletus – tak sejengkal pun melangkahkan kakinya melewati batas dusun Ringinsari. Ia memiliki teman seekor gangsir dan beberapa teman sekolah. Ia pula memiliki sepohon jambu batu di pelataran rumahnya. Pohon itu selain meneduhi juga menjadi jendela menuju dunia luarnya. Ia gemar sekali memanjatinya sekadar untuk bisa melihat dunia luar; kota Parakan, Merapi, dan Merbabu nun jauh di sana. 


Oleh penulisnya - Sundari Mardjuki - mulanya ia ‘ditakdirkan’ menjadi gadis yang cukup terlunta. Dibesarkan di sebuah omah gedhek. Mungkin segi empat, dengan anyaman galar sebagai dindingnya. Bapaknya adalah misteri. Pergi dan tak pernah kembali. Biyungnya seorang petani tembakau. Wanita peladang yang mengerjakan pekerjaan lelaki. Ia tangguh dan sebenarnya cantik. Namun, terik matahari di ladang dan kemelaratan telah merubahnya menjadi muram. Belum lagi utang yang nglimolasi bahkan ngwolulasi, telah membuat wajahnya menjadi mirip pantat kuali.

Tema utama dalam perikehidupan Genduk adalah pencarian sosok bapaknya dan kehidupan petani tembakau yang problematis. Plot novel ini lancar nan urut. Terdiri dari susunan alenia-alenia yang asyik. Beberapa halaman merekam bagaimana kehidupan dusun di tahun 70-an dijalani. Gelap tanpa listrik. Televisi sebuah milik Pak Lurah menjadi hiburan orang sekampung. Ketoprak Siswo Budoyo adalah acara favorit. Dan Dunia Dalam Berita menjadi satu-satunya informasi. Alur ceritanya juga tidak kering, lantaran lagu dolanan, mantra jawa yang kerap dirapal biYung, dan puisi yang menegasi karakter cerdas seorang Genduk, akan menghadirkan kembali segenap kenangan kita di masa kanak.

Konflik diletuskan di halaman pertengahan. Setelah penulis dengan cukup detail menceritai kita bagaimana tembakau dipetiki, diperam, dirajang, dan dijemur, penulis kemudian bertutur tentang bagaimana sebetul-betulnya petani tembakau terjebak dalam lingkaran setan perdagangan tembakau. Petani ditumbalkan. Mereka buta harga. Taipan di kota yang menentukannya. Itupun melalui perantara disebut Gaok. Dan gaok, yang dalam hal ini diperankan oleh Kaduk (yang oleh Genduk kerap disebut; celeng), mempermainkan petani dengan bualan. Petani yang naas, bisa rugi lusinan keranjang. Bahkan, Genduk lebih dari itu, demi tembakau, ia harus dijamahi Kaduk di Tuksari.

Yang apes dan tidak tegar, bisa bernasib seperti Pak Wondo yang mati ngendat di sebuah pohon beringin. Yang untung, bisa bernasib seperti Sumi anaknya Pak Sis yang bisa mengenakan rok warna orange. Sebuah warna langka saat itu. Atau seperti Kisut yang saking senangnya, buru-buru membeli kulkas. Setiba kulkas di rumah, ia baru sadar bahwa di dusunnya, listrik belum mengalir. Sikak!

Ah, sudahlah, beli dan baca saja novelnya, agar Anda tahu bagaimana nasib bapak Genduk dan bagaimana kelak nasib para petani tembakau, juga nasib Genduk dan biYungnya di Sindoro sana.

OASE JIWA



Karya Kanthongumur
Melalui kata oase yang dipilih sebagai judul, penulis buku ini, tampak sekali sengaja menggugah kita untuk sekadar sadar bahwa jiwa kita sebetul-betulnya kerontang. Laksana gurun Hijaz yang langitnya tak banyak memiliki awan penghasil butir hujan. Memang di selatan Hijaz, terbentang luas samudera yang memungkinkan mengirim uapan air ke langit gurun, namun, angin Samum dari ngarai dan padang, selalu saja menghalaunya untuk kembali ke selatan. Maka keringlah gurun karena hujan yang jarang.
Jadi, oase adalah sebidang kehidupan di tengah wilayah luas yang tak ramah lagi mengancam. Dan buku ini, sepenuhnya merefleksikan maknawi oase itu. Sebab isi buku ini, sepenuhnya merupakan rangkuman pengetahuan dan pengalaman jiwa Kiai Sepuh yang ditimba dari laku kehidupan yang dijalani dengan sebuah kematangan spiritual. Ibarat air, jika isi buku ini kita percik-percikkan ke hamparan jiwa kita yang tandus, setidaknya akan merangsang sebuah kehidupan, sebagaimana oase menghidupi akasia, zakum, atau tin.
Penulis, yang saya kenal karena dulu sekamar, adalah sosok yang saya yakini benar-benar paham akan kehidupan berikut arah kearifan fikir Maha Guru Maimun, oleh karena saking lawasnya ia menjadi orang dekat sebagai khadim yang setia. Itu bisa anda buktikan dengan melihat banyaknya koleksi foto penulis bersama Maha Guru Maimun di akun facebooknya.
Isi buku yang ditulis dengan keprihatinan dan tirakat menahan kelajangan di tengah proses perubahan wajah penulis yang terus berjalan menuju penuaan ini, sebagian besar berupa tafsir tematik yang dituturkan Maha Guru Maimun di beberapa pengajian beliau. Ada beberapa yang disarikan dari kitab karya beliau, seperti metode penghitungan awal bulan Hijriyah yang disarikan dari kitab Nususul Ahyar, dan 14 bait Kasidah Muhammadiyah karya Al-Bushiri yang ditambahi 14 bait karya beliau yang disarikan dari kitab Maslak Tanasuk Al-Maliki. Ada yang ditranskrip dari pengajian Ihya' Ulumudin yang digelar saban pagi. Juga ada yang dipetik dari sebuah mauizah yang disampaikan dalam sebuah akad nikah.
Buku ini, meski sarat isi, namun hemat saya masih kurang memenuhi penyajian susastra. Reka dan susun bahasa masih belum menyentuh estetika. Sehingga buku ini hanya bisa digali dari sisi isi, tapi belum bisa dinikmati sebagai kreasi literasi.
Sudah saatnya santri untuk banyak belajar estetika kepenulisan dari buku karya penulis hebat. Selama ini, santri sangat alergi dengan buku. Buku bahkan dianggap sebagai perantara kesesatan. Padahal, membaca buku bukan berarti aktifitas menggali isi semata, tapi jua bisa sekadar merekam bahasa dan bagaimana tulisan dihidupkan melalui kerajinan merangkai kata.
Kemiskinan ilmu merangkai kata yang melanda kalangan santri, akan berdampak pada rendahnya angka minat khalayak dalam membaca karya-karya mereka, padahal sejatinya, karya para santri sangat berisi dan memanfaati. Jadi, sebenarnya, ini hanya soal kemasan. Sebagaimana rumus penjual merayu pembeli.
Lebaksiu 29 November 2016.

BUNG KARNO, PADA 17-8-45

Dahulu, pada tanggal 17-8-45 M bertepatan dengan 8-(Ramadhan)-1364 H, Indonesia diproklamirkan sebagai negera MERDEKA. Jam 10.00 hari Jumat Legi. Entah atas dasar apa; jam, hari, tanggal, bulan, tahun tersebut dipilih, tidak ada satupun catatan sejarah yang menjelaskannya. Sebab maklum, domain para sejarawan hanya mencatat kejadian, tempat, dan waktu yang kasap. Adapun menyisir sisi mistisisme bukanlah area kerja mereka.
Namun, beberapa penulis sejarah, seperti Lasmidjah Hardi dalam bukunya Samudera Merah Putih, dengan lugu merekamkan untuk kita, alasan Bung Karno memilih tanggal 17. Saat itu, Bung Karno berkata:
"Saya ini seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia."
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Di sini saya akan menambah:
Bahwa dalam penanggalan Masehi dan Hijriyah di atas, kita bisa menemukan satu angka yang sama yaitu DELAPAN. Angka 8 dalam penanggalan Masehi menunjukkan bulan Agustus. Dan dalam penanggalan Hijriyyah menunjukkan tanggal, yakni 8 bulan Ramadhan.
Dalam Al-Quran, surat dalam urut ke 8 adalah surat Al-Anfal (Rampasan Perang). Surat ini bisa saja Anda sebut sebagai SURAT KEMERDEKAAN, sebab tema utama dalam surat tersebut adalah KEMENANGAN kaum muslimin di medan Badar. Sebuah peristiwa yang paling menentukan atas perkembangan Negera Madinah selanjutnya.
Kebetulan lain yang ada di situ adalah bahwa Perang Badar juga terjadi di bulan Ramadhan tanggal 17. Tentu ini sangat sesuatu bukan?
Tidak hanya itu. Adapula kalangan mistisisme muslim yang mengaitkan ayat ke 17 dalam surat 8 (Al-Anfal). Ayat itu berbunyi:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan KEMENANGAN yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal [8]; 17)
Juga ayat 45 surat 8 (Al-Anfal):
“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu MENANG.”
Dua ayat di atas adalah firman-firman gamblang tentang kemenangan atau dalam kata lain kemerdekaan.

BANGSA PETANI


Opini yang terbangun di kalangan Qurays, pasca hijrahnya Rasulullah dan para sahabat ke Yatsrib, adalah bahwa Yatsrib tidaklah lebih dari sebuah ‘negeri petani kurma’. Atau mereka akan lebih marem jika hanya menyebutnya secara ejek, sebagai: ‘perkampungan’ saja.
Tani, secara umum dikelaskan sebagai aktifitas kalangan bawah. Sebab, pekerjaan bertani dianggap sebagai pekerjaan otot yang tidaklah memerlukan begitu banyak koordinasi dengan otak. Selain dari pada itu, bertani berarti bergumul dengan tanah menggunakan cangkul. Sebuah alat yang tidak menakutkan karena bukan dalam kategori senjata.
Jadi, memang tidak ada alasan bagi orang-orang Makkah yang pedagang untuk takut pada komunitas baru yang dibangun Rasulullah di negeri petani itu. “Tidak mungkin seorang imigran – seperti Muhammad – membentuk sebuah legiun orang-orang petani kurma, lalu mengangkat senjata untuk menyerang Makkah,” pikir mereka.
Lain petani, lain pedagang. Bangsa pedagang – seperti Qurays – sudah barang tentu memiliki kelebihan dalam segala hal yang menunjang kehidupan niaganya. Selain informasi pasar, bangsa pedagang juga dituntut memiliki informasi terkini seputar situasi politik negeri yang dituju dan negeri-negeri yang dilalui kafilahnya. Mereka juga harus terampil dalam berdiplomasi dengan suku-suku badui yang dilaluinya. Mereka juga harus jeli membaca gunung, bintang, musim, ceruk, cekungan, batu-batu, sumur, sebagaimana orang sekarang membaca peta. Selain itu, mereka juga harus memiliki pendekar-pendekar tangguh berikut senjata lengkap untuk mengawal kafilah menuju negeri-negeri seberang. Dan Qurays telah memiliki itu semua.
Namun kelak, anggapan kaum pedagang Makkah bahwa kaum petani Madinah tidak akan menyerang apalagi menang, sepenuhnya akan terbukti salah. Kaum petani kurma yang dipimpin oleh seorang imigran bernama Muhammad itu, akan tampil sebagai kampiun bahkan akan menguasai kota Makkah, kota kaum pedagang.
SELAMAT PAGI para petani, semoga Allah memberkahi!

SARUNG DAN KEMERDEKAAN

Temanggung 22 Oktober 2016

Sejak diperkenalkan oleh para mubalig dari Arab Selatan di abad ke-14, sarung kemudian membudaya di kalangan kaum santri sebagai jati diri. Bahkan kemudian, pula menjadi seragam perjuangan menghadapi Kompeni, Jepang, Sekutu, hingga PKI. Jadi, sarung sangatlah bisa disejajarkan dengan bambu runcing sebagai ikon kemerdekaan Indonesia tercinta ini.
Sarung adalah sebidang kain yang dijahit kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa raksasa. Cara memakainya dibebatkan pada pinggang, kanan dan kiri ditekuk, dipertemukan di tengah hingga membentuk sebuah belahan, lalu digulung dua atau tiga kali di bagian depan di bawah pusar. Tidak perlu ketrampilan khusus untuk memakainya. Mudah.
Di kalangan santri, sarung lebih menunjukkan prestise, ketimbang semisal baju atau pecis. Kaum elit pesantren biasanya mengenakan sarung sutera halus. Mahal. Sementara kalangan jelata, biasanya mengenakan sarung kasar seperti yang biasa saya kenakan. Murah.
Dulu sampai sekarang, ketika kami memakai sarung, kami masih merasakan rasa kemerdekaan itu. Utamanya ketika kami memakainya tanpa rangkap celana. Udara bisa semaunya masuk dari rongga bawah menyepoikan silir ke segenap ruangan pengap selangkangan. Ah, merdeka sekali!
Bahkan, meski kami memakainya dengan rangkapan celana, kemerdekaan itu masih bisa terasa. Celana di sini bukanlah celana dalam yang masyhur disebut sempak, tetapi celana pendek kolor yang ujungnya tidak menyentuh lutut. Celana pendek lebih memberi kemerdekaan bagi penghuninya. Ketimbang sempak yang berkarakter mirip kompeni: menjajah. Selain itu, celana pendek lebih menjamin keamanan penghuninya dari semisal terjepit, terselip, atau tertelikung. Jadi, celana pendek kolor benar-benar memberi kehidupan permai dan sentosa di dalam sana. Dan yang terpenting, tidak menghambat pertumbuhan. Itulah mengapa sekarang istri-istri kami sejahtera secara batin, tanpa komplain.
Dulu kami pernah melalukan riset dan sensus, berapa persen jumlah santri pemakai celana dalam. Riset itu kami lakukan dengan melihat jemuran. Di jemuran pesantren putra, nyaris tidak akan ditemukan celana dalam tergelantung di hanger. Kalaupun ada, hanyalah satu-dua. Itu menandakan bahwa santri betul-betul memiliki jiwa anti penjajah yang mengekang. Dalam arti lain, gelora ‘merdeka’ masih tergaung di sana.
Lain dengan jemuran pesantren putri. Di sana, selain sarung tentunya, kami bisa menemukan aneka warna celana dalam yang melambai-lambai di tiup kawanan angin, dengan jumlah besar pula. Dan itu wajar, karena celana dalam bagi wanita tidak akan menjajah seperti kompeni. Tidak menjepit, menyelip, atau menelikung. Tidak sama sekali. Bahkan malah melindungi, dari semisal serangga atau debu yang bisa menyebabkan iritasi bahkan inveksi di area yang memiliki kepekaan tinggi.
Selain sebagai media sensus dan riset. Bagi kami, jemuran pesantren putri selaksa radioterapi yang memacarkan gelombang radioaktif berkemampuan menghilangkan pening di kepala kami, terutama ketika uang saku kami menipis. Kami menyebutnya; “Taman ‘gantung’ Babilonia.” Semakin indah warna dan bentuknya, maka semakin mudah kami menghadirkan gadis cantik imajiner dalam khayali. Semakin buruk warnanya, berjamur, bolong, molor, dan berdiameter besar, maka semakin cepat kami meneruskan langkah.
Itu dulu.
Sarung sampai sekarang, dengan megah masih kami kenakan, sebagai seragam perjuangan, jati diri, dan simbol kemerdekaan.
Selamat Hari Santri Nasional!

SABAYA & JARIYA

(Para budak wanita abad pertengahan)

Saya pernah berdikusi di warung kopi. Bukan tentang ilmu, tetapi film, artis, dan segenap kemaksiatannya. Ketika teman saya bertanya siapakah artis wanita idaman? Seketika kecerdasan saya menangkap sosok Wulan Guritno. Entah mengapa. Saya hanya tahu bahwa ia adalah artis yang di balik kulit halusnya mengalir darah Jawa-Inggris. Sementara tubuhnya jika ditopang sepatu hak tinggi, akan tampak menjulang seperti tiang listrik:semampai dan bertegangan tinggi.

Di kemudian hari saya membaca sebuah literatur klasik, tentang sosiologi era Abbasiyah, yang ditulis oleh seorang sastrawan Mu’tazilah Afro-Asia, bernama Al-Jahidz. Dalam catatanya, Al-Jahidz mengemukakan bahwa pada masa kegemilangan Abbasiyah, minat lelaki terhadap budak wanita menggalami peningkatan drastis, melebihi minat mereka kepada wanita merdeka.

Alasan pertama, para sabaya atau budak wanita yang dijual di pasar-pasar dengan harga seratus domba bahkan lebih, adalah wanita-wanita asing yang berparas lain dari paras wanita pribumi. Tentu saja itu memancarkan pesona tersendiri di mata laki-laki. Kata Al-Jahidz, orang Bashrah seleranya budak India, orang Yaman seleranya budak Habasyah, orang Syam seleranya budak Eropa. Dari situ, maka tidak aneh jika kemudian saya – dan Anda juga tentunya – mudah terpesona dengan wanita keturunan sejenis Wulan Guritno.

Alasan kedua, para sabaya dibedakan dengan wanita merdeka, dengan tidak memakai burka. Bahkan, kebanyakan budak-budak wanita hanya mengenakan pakaian sepinggang saja. Sehingga, pemandangan pegunungan yang indah di Baghdad kala itu, menjadi tambah indah dengan hadirnya gunung-gunung baru yang menggemaskan.

Oleh karena hanya berpakaian sepinggang, para lelaki yang berminat membeli, diberi kesempatan semaremnya untuk memilih para budak, dengan cara melihat rambut, leher, dada, perut, dan betis. Tentu saja ini sangat membantu meminimalisir kekecewaan para tuan di kemudian hari.

Nah ini sama sekali berbeda dengan lelaki yang ingin menikahi wanita merdeka. Para lelaki hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan. Dengan ini, potensi kecewa para suami dengan isi gamis dan kerudung wanita merdeka menjadi rentan. Jika dibanding dengan membeli budak.
Jadi, itulah mengapa dulu para lelaki berminat sekali memiliki banyak budak wanita.

***

Ya, seperti itulah beruntungnya orang-orang di Abad Pertengahan. Menjadi kolektor budak-budak asing, berhidung pedang, bermata rusa, berkulit sutra, dan bertubuh biola. Sementara kita yang hidup di zaman akhir ini, cukuplah mengkoleksi burung kicau, kucing, akik, atau vespa tua saja. Ataupun jika memaksa diri menjadi kolektor wanita-wanita sejenis Wulan Guritno, bisalah mengkoleksi walpapernya saja. Mau apa lagi?

FIKIH TOLERANSI

FIKIH TOLERANSI

Judul: Fikih Toleransi
Penulis: Syarif Yahya
Pengantar: Menteri Agama H. Lukman Hakim S
Penerbit: Aswaja Pressindo
Tahun terbit: Cetakan I, 2016
Tebal: 207 halaman
ISBN: 978-602-6791-52-8

Toleransi menjadi penting dideskripsikan, guna mengawal kerukunan di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Negara kita, adalah negara unik dan yang terlain. Sebab bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Tapi negara Pancasila. Sebuah konsep lain yang tetap berlandaskan agama berpadu dengan norma pribumi. Sebagai mayoritas, umat muslim memiliki tanggung jawab memandu toleransi di negeri ini. Di sinilah pentingnya pengetahuan toleransi secara benar. Toleransi yang tidak menciderai konstitusi negara dan tidak pula melanggar syariah agama.

Sejauh ini, toleransi diartikan sebagai kebebasan beragama oleh umat muslim yang cenderung sekuler. Toleransi didefinisikan secara mutlak. Bisa diwujudkan dalam kerangka sosiologis, bisa pula dalam kerangka teologis. Kesannya, kelompok ini berupaya memenangkan peran konstitusi negara atas kanun agama. Di pihak lain, kaum fundamentalis yang gigih berupaya menerapkan Islam secara tekstual dan historikal. Kelompok ini gemar betul mencari musuh atas nama agama. Konstitusi negara, mereka anggap batal, dan agama mereka amalkan secara radikal. Intoleransi pun muncul dari sini.

Buku ini hadir dengan deskripsi lain. Sebab menggunakan kacamata Islam ala pesantren. Sebuah lembaga asli Nusantara yang telah turut pula membidani NKRI. Kitab-kitab kuning tentu saja menjadi rujukan utama buku ini.

Dan meski kitab kuning pada umumnya ditulis oleh pemikir abad pertengahan, dan kebanyakan musanifnya bukan pribumi Nusantara, tetapi loyalitas dan eksistensi kaum pesantren dalam mengawal NKRI selama ini adalah bukti peran para kiai dan kaum pesantren telah dapat dengan tepat menerjemahkan teks kitab kuning menjadi sesuai dengan konteks keindonesiaan.


Buku ini bisa menjadi solusi keagamaan bagi masyarakat muslim yang hidup berdampingan dengan non muslim.