KAMUS PINTAR AGAMA ISLAM


Hakikat buku ini, adalah semata kumpulan ‘ketidaktahuan saya’. Begini!, ketika saya banyak membaca berbagai buku, terutama buku Islam – baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia – saya banyak tersandung kemuskilan istilah. Dan itu sangat menggangu, karena saya harus menghabiskan waktu yang kadang tidak sebentar, hanya untuk mengetahui istilah yang garib. Sebelum misteri itu terkuak, maka saya akan risau karena tak menemukan artikulasi sempurna di antara kalimat-kalimat yang saya baca.

Saya harus bangkit, mencari kamus. Dan ketika saya hanya menemukan ‘kamus kata’ bukan ‘kamus istilah’ maka saya akan malas untuk membaca tanpa kata yang tak ganjil itu. Dan saya juga sadar, bahwa kepustakaan saya tergolong miskin dan tidak mampu. Kamus istilah saja nihil.

Setelah lelah berlebaran di tahu 2013, saya mencoba mengumpulkan kata-kata garib itu. Dan terkumpul sekitar 100 istilah. Dari situlah saya bermaksud menambah kata-kata lain, agar tebal dan patut disebut sebagai sebuah buku. Kebanyakan, kata-kata itu saya dapat hanya dengan mengingat-ingat pelajaran dulu di madrasah. Lainnya, kadang saya temukan di tengah menulis, ketika mengajar, atau ketika membaca.
 


***

Sebenarnya, istilah kamus adalah istilah salah-kaprah. Sementara istilah Arab yang tepat untuk menyebut sebuah karya yang mengumpulkan perbedaharaan kata dan istilah, adalah al-mu‘jam, yang berasal dari kata ‘ajama berarti ‘menghilangkan kesamaran’ atau ‘menjelaskan’.

Sedangkan istilah qamus muncul ketika untuk pertama kalinya digunakan nama kitab mu‘jam oleh Fairuzabadi (1329-1414) yaitu Al-Qâmus Al-Muhîth (kamus lengkap), karya Fairuzabadi ini sangat masyhur di dunia Arab terutama Islam, sehingga nama kitab tersebut (Al-Qamus) menjadi istilah khusus untuk menyebut sebuah kitab yang mengumpulkan kosakata. Bahkan saking masyhurnya, mampu mengeser istilah mu’jam.

Dalam sejarah penulisan, mu‘jam atau kamus telah renta seusia peradaban manusia itu sendiri. Mu‘jam telah ada pada peradaban Babilonia dan Bangsa Asyur diperkirankan 500 tahun sebelum Masehi, yang ditemukan dalam sebuah piring silinder di perpustakan kuno bangsa Asyur di sebuah kota yang disebut Niyanikia. Tulisan itu merupakan kumpulan penjelasan arti kata bahasa Asyur dan Babilonia.

Bangsa Romawi telah menggunakan  sistem kamus sejak 300 tahun sebelum masehi. Tokoh-tokoh yang masyhur di antaranya adalah: Aristhopanes dari Bizantium (195-180 SM) yang menuliskan makna dan tafsir kata-perkata bahasa Yunani yang langka, pada saat itu Aristhopanes menjabat sebagai pengawas perpustakaan Alexandria yang didirikan oleh Alexander Agung.

Sementara penulisan kamus oleh bangsa Arab, baru dilakukan setelah tersebarnya Islam ke luar Arab yang menyebabkan percampuran antara Arab dan ajam (non Arab). Sejak itu, bahasa Arab terancam bercampur dengan bahasa ajam, sementara bahasa Al-Quran adalah murni Arab dan hanya bisa dipahami kemukjizatannya dengan kemurnian itu. Maka timbullah kepedulian dari sebagian sahabat untuk menulis dan mengumpulkan kata-kata Al-Quran dalam bentuk mu‘jam. Untuk pertama kali, Ibnu Abbas (w 678) menuliskannya atas permintaan Nafi’ bin Al-Azraq (w 684) dan masyhur disebut Masâ’il Nafi‘ bin Al-Azraq fi Al-Qur’an (masalah-masalah Nafi’ bin Azraq dalam Al-Quran).

Setelah itu muncul beberapa mu‘jam yang masih terbatas pada bahasa Al-Quran. Seperti Gharîb Al-Qur’an (kat-kata langka dalam Al-Quran) karya Abu Said Aban bin Taghlib Al-Jariri (758 M/141 H). Kemudian Tafsîr Gharîb Al-Qur’an (tafsir kata-kata langka dalam Al-Quran) karya Abdullah Malik bin Anas bin Malik (795 M/179 H).

Baru setelah, paruh abad kedua Hijriyah, muncul mu’jam yang menuliskan perbendaharaan kata Arab secara umum, tidak terkhusus pada Al-Quran, seperti Al-‘Ain (sumber) karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Al-Bâri‘ fi Lughat (Piawai dalam bahasa) karya Abu Ali Al-Qali, Al-Qâmûs Al-Muhîth (Kamus Lengkap) karya Al-Fairuzabadi, dll.

***

 Kamus ini, mengumpulkan istilah-istilah yang lazim digunakan pada buku-buku pesantren, madrasah, universitas Islam, dan buku keislaman umum. Mencakup tauhid, fikih, tarikh, tafsir, musthalah hadis, ukuran/timbangan/takaran Islam lama, faraid, falak, hisab, tasawuf, dll. Semantara Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA – Sang pengantar kamus ini – sangat  memberi ruh pada buku ini ketika nama beliau di tulis di muka sampul. 

PEREMPUAN BERNAMA ARJUNA 2 (sinologi dalam fiksi)


 “Perempuan Bernama Arjuna ke-2: Sinologi dalam Fiksi”, lanjutan dari Novel “Perempuan Bernama Arjuna: Filsafat dalam Fiksi”.

Novel pertama dilanjutkan ke novel kedua karena, menurut Penulisnya, Remy Sylado, karena kisahnya belum selesai karena selain pengetahuan filsafat Barat dan Timur, Remy Sylado melihat bahwa Indonesia tidak sebatas berurusan dengan kedua filsafat itu, melainkan juga dengan sinologi, sebuah kajian literatur tentang pengetahuan dan kebudayaan Cina di Indonesia yang sudah semestinya kita ketahui.  Cina, menurut Remy memiliki kontribusi yang besar dalam ruang publik kebudayaan. Banyak tradisi kehidupan kita yang berurusan dengan kebudayaan Cina melalui imigran-imigran Cina zaman baheula hingga keturunan-keturunannya sekarang yang telah menyatu menjadi warga Indonesia.

Bandung sebagai salahsatu bagian terpenting dari sejarah Indonesia juga merasakan sentuhan yang luar biasa dengan kebudayaan Cina. Karena itulah, setelah sukses dengan “Filsafat dalam Fiksi,” Remy Sylado sangat ambisius menulis sejarah hubungan Cina di Indonesia, dengan mengambil setting kehidupan di Bandung. Dan jadilah novel apik nan elok yang sekarang kita dapatkan ini.

Remy Sylado Menulis:
“….Kebetulan, Bandung memang kota yang romantis nian untuk memadu cinta-kasih-sayang tersebut. Ini sudah dikatakan oma-opa sejak zaman baheula, zamannya kuda gigit besi. Dan, setahu saya pula, dari bacaan lama, pernah dikatakan oleh seorang pengembara, lupa namanya, bahwa pada zaman colonial dulu, ada nyanyian dalam ahasa kereseh-peseh yang khas seleranya serdadu-serdadu Belanda pribumi tentang eloknya Bandung bagi pengantin baru….”

LALU:
“….Sampai sekarang ini toh di tengah-tengah pusat kota Bandung tetap berdiri kompleks pelacuran bernama resmi Saritem, konon kependekan dari bahasa Jawa yang sudah populer sejak zaman Bung Karno kuliah di ITB, yaitu ‘sari tempik’, dan oleh para preman zaman kiwari dijuluki sebagai ‘bursa heunceut’, atau lebih jenaka lagi disebut oleh penganut life style sebagai ‘purenva’, singkatan dari “pusat rental vagina”. Itu memang penamaan yang betul. Sebab sesungguhnya pelacur bukan ‘menjual diri’ tapi ‘menyewakan tubuh’….”
Sungguh suatu kebanggaan bagi kita, seorang seniman dengan segudang pengetahuan sejarah dan berambisi terus menularkan pengetahuannya yang luar biasa tersebut bagi generasi Indonesia. Membaca novel tentu tujuan utamanya ialah mendapatkan kenikmatan dari sebuah literatur. Nah, dalam membaca novel kedua ini, kita akan benar-benar merasakan perasaan yang luar biasa menggugah nalar karena begitu banyak catatan-catatan sejarah yang menarik belum diungkap. Dan novel ini mengungkap banyak fakta sejarah kehidupan tempo dulu,yang sekarang kita temui berpararel dengan kondisi kontemporer.  Dengan kata lain, Remy memang menulis fiksi, tetapi fiksi itu memuat sejumlah fakta sejarah, dan karena itu sehabis membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang banyak.
Remy Sylado Menulis:
“….Sebelum kami meninggalkan rumah Kan Hok Hoei ini, sang tuanrumah berdiri dari kursinya di mana di latarbelakangnya terpampang lukisan kaligrafi yang menarik perhatian saya. Kaligrafi itu sebuah pepatah.
                Begini tulisannya:
                chi bù qióng
                chuan bù qióng
                dà jiù shòu qióng 

                Saya bisa membaca tulisan Cina. Artinya: Makanan dan pakaian takkan membuat orang jadi miskin, tapi sekali saja melakukan salah perhitungan, maka ujungnya membuat orang bisa melarat. yang membuat saya suka adalah sebagai senirupa, kaligrafi Cina sangat intuitif dan indah.
                Karena tertarik, saya pun bertanya pada Kan Hok Hoei, “Siapa yang bikin kaligrafi itu?”
                Jawab Kan Hok Hoei, “Saya sendiri.”
                “Wah, ciamik,” kata saya.

LALU:
“….Tapi memang jasa Konghucu yang melandasi tradisi ini. Tradisi merayakan Imlek yang sekarang populer dengan ucapan 'gong xi fa chai' adalah ekspresi khas orang Cina pada sisten penanggalannya yang memberi berkah kepada manusia hidup. Ini dihubungkan dengan ketepatan waktu, bagi petani untuk bercocok tanam. Memang, tak salah, adalah Konghucu yang berhasil menghitung keadaan alam, dan waktu yang tepat bagi manusia untuk bekerja. Kecendekiaan Konghucu itu, disertai dengan ajaran-ajaran pekerti, susila, akhlak, adab, bagi orang Cina disebut ‘nabi’."
                "Nabi?''
                "Ya, nabi. Jangan terkejut….