PEREMPUAN BERNAMA ARJUNA 2 (sinologi dalam fiksi)


 “Perempuan Bernama Arjuna ke-2: Sinologi dalam Fiksi”, lanjutan dari Novel “Perempuan Bernama Arjuna: Filsafat dalam Fiksi”.

Novel pertama dilanjutkan ke novel kedua karena, menurut Penulisnya, Remy Sylado, karena kisahnya belum selesai karena selain pengetahuan filsafat Barat dan Timur, Remy Sylado melihat bahwa Indonesia tidak sebatas berurusan dengan kedua filsafat itu, melainkan juga dengan sinologi, sebuah kajian literatur tentang pengetahuan dan kebudayaan Cina di Indonesia yang sudah semestinya kita ketahui.  Cina, menurut Remy memiliki kontribusi yang besar dalam ruang publik kebudayaan. Banyak tradisi kehidupan kita yang berurusan dengan kebudayaan Cina melalui imigran-imigran Cina zaman baheula hingga keturunan-keturunannya sekarang yang telah menyatu menjadi warga Indonesia.

Bandung sebagai salahsatu bagian terpenting dari sejarah Indonesia juga merasakan sentuhan yang luar biasa dengan kebudayaan Cina. Karena itulah, setelah sukses dengan “Filsafat dalam Fiksi,” Remy Sylado sangat ambisius menulis sejarah hubungan Cina di Indonesia, dengan mengambil setting kehidupan di Bandung. Dan jadilah novel apik nan elok yang sekarang kita dapatkan ini.

Remy Sylado Menulis:
“….Kebetulan, Bandung memang kota yang romantis nian untuk memadu cinta-kasih-sayang tersebut. Ini sudah dikatakan oma-opa sejak zaman baheula, zamannya kuda gigit besi. Dan, setahu saya pula, dari bacaan lama, pernah dikatakan oleh seorang pengembara, lupa namanya, bahwa pada zaman colonial dulu, ada nyanyian dalam ahasa kereseh-peseh yang khas seleranya serdadu-serdadu Belanda pribumi tentang eloknya Bandung bagi pengantin baru….”

LALU:
“….Sampai sekarang ini toh di tengah-tengah pusat kota Bandung tetap berdiri kompleks pelacuran bernama resmi Saritem, konon kependekan dari bahasa Jawa yang sudah populer sejak zaman Bung Karno kuliah di ITB, yaitu ‘sari tempik’, dan oleh para preman zaman kiwari dijuluki sebagai ‘bursa heunceut’, atau lebih jenaka lagi disebut oleh penganut life style sebagai ‘purenva’, singkatan dari “pusat rental vagina”. Itu memang penamaan yang betul. Sebab sesungguhnya pelacur bukan ‘menjual diri’ tapi ‘menyewakan tubuh’….”
Sungguh suatu kebanggaan bagi kita, seorang seniman dengan segudang pengetahuan sejarah dan berambisi terus menularkan pengetahuannya yang luar biasa tersebut bagi generasi Indonesia. Membaca novel tentu tujuan utamanya ialah mendapatkan kenikmatan dari sebuah literatur. Nah, dalam membaca novel kedua ini, kita akan benar-benar merasakan perasaan yang luar biasa menggugah nalar karena begitu banyak catatan-catatan sejarah yang menarik belum diungkap. Dan novel ini mengungkap banyak fakta sejarah kehidupan tempo dulu,yang sekarang kita temui berpararel dengan kondisi kontemporer.  Dengan kata lain, Remy memang menulis fiksi, tetapi fiksi itu memuat sejumlah fakta sejarah, dan karena itu sehabis membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang banyak.
Remy Sylado Menulis:
“….Sebelum kami meninggalkan rumah Kan Hok Hoei ini, sang tuanrumah berdiri dari kursinya di mana di latarbelakangnya terpampang lukisan kaligrafi yang menarik perhatian saya. Kaligrafi itu sebuah pepatah.
                Begini tulisannya:
                chi bù qióng
                chuan bù qióng
                dà jiù shòu qióng 

                Saya bisa membaca tulisan Cina. Artinya: Makanan dan pakaian takkan membuat orang jadi miskin, tapi sekali saja melakukan salah perhitungan, maka ujungnya membuat orang bisa melarat. yang membuat saya suka adalah sebagai senirupa, kaligrafi Cina sangat intuitif dan indah.
                Karena tertarik, saya pun bertanya pada Kan Hok Hoei, “Siapa yang bikin kaligrafi itu?”
                Jawab Kan Hok Hoei, “Saya sendiri.”
                “Wah, ciamik,” kata saya.

LALU:
“….Tapi memang jasa Konghucu yang melandasi tradisi ini. Tradisi merayakan Imlek yang sekarang populer dengan ucapan 'gong xi fa chai' adalah ekspresi khas orang Cina pada sisten penanggalannya yang memberi berkah kepada manusia hidup. Ini dihubungkan dengan ketepatan waktu, bagi petani untuk bercocok tanam. Memang, tak salah, adalah Konghucu yang berhasil menghitung keadaan alam, dan waktu yang tepat bagi manusia untuk bekerja. Kecendekiaan Konghucu itu, disertai dengan ajaran-ajaran pekerti, susila, akhlak, adab, bagi orang Cina disebut ‘nabi’."
                "Nabi?''
                "Ya, nabi. Jangan terkejut….


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »