BUNG KARNO, PADA 17-8-45

Dahulu, pada tanggal 17-8-45 M bertepatan dengan 8-(Ramadhan)-1364 H, Indonesia diproklamirkan sebagai negera MERDEKA. Jam 10.00 hari Jumat Legi. Entah atas dasar apa; jam, hari, tanggal, bulan, tahun tersebut dipilih, tidak ada satupun catatan sejarah yang menjelaskannya. Sebab maklum, domain para sejarawan hanya mencatat kejadian, tempat, dan waktu yang kasap. Adapun menyisir sisi mistisisme bukanlah area kerja mereka.
Namun, beberapa penulis sejarah, seperti Lasmidjah Hardi dalam bukunya Samudera Merah Putih, dengan lugu merekamkan untuk kita, alasan Bung Karno memilih tanggal 17. Saat itu, Bung Karno berkata:
"Saya ini seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia."
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Di sini saya akan menambah:
Bahwa dalam penanggalan Masehi dan Hijriyah di atas, kita bisa menemukan satu angka yang sama yaitu DELAPAN. Angka 8 dalam penanggalan Masehi menunjukkan bulan Agustus. Dan dalam penanggalan Hijriyyah menunjukkan tanggal, yakni 8 bulan Ramadhan.
Dalam Al-Quran, surat dalam urut ke 8 adalah surat Al-Anfal (Rampasan Perang). Surat ini bisa saja Anda sebut sebagai SURAT KEMERDEKAAN, sebab tema utama dalam surat tersebut adalah KEMENANGAN kaum muslimin di medan Badar. Sebuah peristiwa yang paling menentukan atas perkembangan Negera Madinah selanjutnya.
Kebetulan lain yang ada di situ adalah bahwa Perang Badar juga terjadi di bulan Ramadhan tanggal 17. Tentu ini sangat sesuatu bukan?
Tidak hanya itu. Adapula kalangan mistisisme muslim yang mengaitkan ayat ke 17 dalam surat 8 (Al-Anfal). Ayat itu berbunyi:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan KEMENANGAN yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal [8]; 17)
Juga ayat 45 surat 8 (Al-Anfal):
“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu MENANG.”
Dua ayat di atas adalah firman-firman gamblang tentang kemenangan atau dalam kata lain kemerdekaan.

BANGSA PETANI


Opini yang terbangun di kalangan Qurays, pasca hijrahnya Rasulullah dan para sahabat ke Yatsrib, adalah bahwa Yatsrib tidaklah lebih dari sebuah ‘negeri petani kurma’. Atau mereka akan lebih marem jika hanya menyebutnya secara ejek, sebagai: ‘perkampungan’ saja.
Tani, secara umum dikelaskan sebagai aktifitas kalangan bawah. Sebab, pekerjaan bertani dianggap sebagai pekerjaan otot yang tidaklah memerlukan begitu banyak koordinasi dengan otak. Selain dari pada itu, bertani berarti bergumul dengan tanah menggunakan cangkul. Sebuah alat yang tidak menakutkan karena bukan dalam kategori senjata.
Jadi, memang tidak ada alasan bagi orang-orang Makkah yang pedagang untuk takut pada komunitas baru yang dibangun Rasulullah di negeri petani itu. “Tidak mungkin seorang imigran – seperti Muhammad – membentuk sebuah legiun orang-orang petani kurma, lalu mengangkat senjata untuk menyerang Makkah,” pikir mereka.
Lain petani, lain pedagang. Bangsa pedagang – seperti Qurays – sudah barang tentu memiliki kelebihan dalam segala hal yang menunjang kehidupan niaganya. Selain informasi pasar, bangsa pedagang juga dituntut memiliki informasi terkini seputar situasi politik negeri yang dituju dan negeri-negeri yang dilalui kafilahnya. Mereka juga harus terampil dalam berdiplomasi dengan suku-suku badui yang dilaluinya. Mereka juga harus jeli membaca gunung, bintang, musim, ceruk, cekungan, batu-batu, sumur, sebagaimana orang sekarang membaca peta. Selain itu, mereka juga harus memiliki pendekar-pendekar tangguh berikut senjata lengkap untuk mengawal kafilah menuju negeri-negeri seberang. Dan Qurays telah memiliki itu semua.
Namun kelak, anggapan kaum pedagang Makkah bahwa kaum petani Madinah tidak akan menyerang apalagi menang, sepenuhnya akan terbukti salah. Kaum petani kurma yang dipimpin oleh seorang imigran bernama Muhammad itu, akan tampil sebagai kampiun bahkan akan menguasai kota Makkah, kota kaum pedagang.
SELAMAT PAGI para petani, semoga Allah memberkahi!

SARUNG DAN KEMERDEKAAN

Temanggung 22 Oktober 2016

Sejak diperkenalkan oleh para mubalig dari Arab Selatan di abad ke-14, sarung kemudian membudaya di kalangan kaum santri sebagai jati diri. Bahkan kemudian, pula menjadi seragam perjuangan menghadapi Kompeni, Jepang, Sekutu, hingga PKI. Jadi, sarung sangatlah bisa disejajarkan dengan bambu runcing sebagai ikon kemerdekaan Indonesia tercinta ini.
Sarung adalah sebidang kain yang dijahit kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa raksasa. Cara memakainya dibebatkan pada pinggang, kanan dan kiri ditekuk, dipertemukan di tengah hingga membentuk sebuah belahan, lalu digulung dua atau tiga kali di bagian depan di bawah pusar. Tidak perlu ketrampilan khusus untuk memakainya. Mudah.
Di kalangan santri, sarung lebih menunjukkan prestise, ketimbang semisal baju atau pecis. Kaum elit pesantren biasanya mengenakan sarung sutera halus. Mahal. Sementara kalangan jelata, biasanya mengenakan sarung kasar seperti yang biasa saya kenakan. Murah.
Dulu sampai sekarang, ketika kami memakai sarung, kami masih merasakan rasa kemerdekaan itu. Utamanya ketika kami memakainya tanpa rangkap celana. Udara bisa semaunya masuk dari rongga bawah menyepoikan silir ke segenap ruangan pengap selangkangan. Ah, merdeka sekali!
Bahkan, meski kami memakainya dengan rangkapan celana, kemerdekaan itu masih bisa terasa. Celana di sini bukanlah celana dalam yang masyhur disebut sempak, tetapi celana pendek kolor yang ujungnya tidak menyentuh lutut. Celana pendek lebih memberi kemerdekaan bagi penghuninya. Ketimbang sempak yang berkarakter mirip kompeni: menjajah. Selain itu, celana pendek lebih menjamin keamanan penghuninya dari semisal terjepit, terselip, atau tertelikung. Jadi, celana pendek kolor benar-benar memberi kehidupan permai dan sentosa di dalam sana. Dan yang terpenting, tidak menghambat pertumbuhan. Itulah mengapa sekarang istri-istri kami sejahtera secara batin, tanpa komplain.
Dulu kami pernah melalukan riset dan sensus, berapa persen jumlah santri pemakai celana dalam. Riset itu kami lakukan dengan melihat jemuran. Di jemuran pesantren putra, nyaris tidak akan ditemukan celana dalam tergelantung di hanger. Kalaupun ada, hanyalah satu-dua. Itu menandakan bahwa santri betul-betul memiliki jiwa anti penjajah yang mengekang. Dalam arti lain, gelora ‘merdeka’ masih tergaung di sana.
Lain dengan jemuran pesantren putri. Di sana, selain sarung tentunya, kami bisa menemukan aneka warna celana dalam yang melambai-lambai di tiup kawanan angin, dengan jumlah besar pula. Dan itu wajar, karena celana dalam bagi wanita tidak akan menjajah seperti kompeni. Tidak menjepit, menyelip, atau menelikung. Tidak sama sekali. Bahkan malah melindungi, dari semisal serangga atau debu yang bisa menyebabkan iritasi bahkan inveksi di area yang memiliki kepekaan tinggi.
Selain sebagai media sensus dan riset. Bagi kami, jemuran pesantren putri selaksa radioterapi yang memacarkan gelombang radioaktif berkemampuan menghilangkan pening di kepala kami, terutama ketika uang saku kami menipis. Kami menyebutnya; “Taman ‘gantung’ Babilonia.” Semakin indah warna dan bentuknya, maka semakin mudah kami menghadirkan gadis cantik imajiner dalam khayali. Semakin buruk warnanya, berjamur, bolong, molor, dan berdiameter besar, maka semakin cepat kami meneruskan langkah.
Itu dulu.
Sarung sampai sekarang, dengan megah masih kami kenakan, sebagai seragam perjuangan, jati diri, dan simbol kemerdekaan.
Selamat Hari Santri Nasional!

SABAYA & JARIYA

(Para budak wanita abad pertengahan)

Saya pernah berdikusi di warung kopi. Bukan tentang ilmu, tetapi film, artis, dan segenap kemaksiatannya. Ketika teman saya bertanya siapakah artis wanita idaman? Seketika kecerdasan saya menangkap sosok Wulan Guritno. Entah mengapa. Saya hanya tahu bahwa ia adalah artis yang di balik kulit halusnya mengalir darah Jawa-Inggris. Sementara tubuhnya jika ditopang sepatu hak tinggi, akan tampak menjulang seperti tiang listrik:semampai dan bertegangan tinggi.

Di kemudian hari saya membaca sebuah literatur klasik, tentang sosiologi era Abbasiyah, yang ditulis oleh seorang sastrawan Mu’tazilah Afro-Asia, bernama Al-Jahidz. Dalam catatanya, Al-Jahidz mengemukakan bahwa pada masa kegemilangan Abbasiyah, minat lelaki terhadap budak wanita menggalami peningkatan drastis, melebihi minat mereka kepada wanita merdeka.

Alasan pertama, para sabaya atau budak wanita yang dijual di pasar-pasar dengan harga seratus domba bahkan lebih, adalah wanita-wanita asing yang berparas lain dari paras wanita pribumi. Tentu saja itu memancarkan pesona tersendiri di mata laki-laki. Kata Al-Jahidz, orang Bashrah seleranya budak India, orang Yaman seleranya budak Habasyah, orang Syam seleranya budak Eropa. Dari situ, maka tidak aneh jika kemudian saya – dan Anda juga tentunya – mudah terpesona dengan wanita keturunan sejenis Wulan Guritno.

Alasan kedua, para sabaya dibedakan dengan wanita merdeka, dengan tidak memakai burka. Bahkan, kebanyakan budak-budak wanita hanya mengenakan pakaian sepinggang saja. Sehingga, pemandangan pegunungan yang indah di Baghdad kala itu, menjadi tambah indah dengan hadirnya gunung-gunung baru yang menggemaskan.

Oleh karena hanya berpakaian sepinggang, para lelaki yang berminat membeli, diberi kesempatan semaremnya untuk memilih para budak, dengan cara melihat rambut, leher, dada, perut, dan betis. Tentu saja ini sangat membantu meminimalisir kekecewaan para tuan di kemudian hari.

Nah ini sama sekali berbeda dengan lelaki yang ingin menikahi wanita merdeka. Para lelaki hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan. Dengan ini, potensi kecewa para suami dengan isi gamis dan kerudung wanita merdeka menjadi rentan. Jika dibanding dengan membeli budak.
Jadi, itulah mengapa dulu para lelaki berminat sekali memiliki banyak budak wanita.

***

Ya, seperti itulah beruntungnya orang-orang di Abad Pertengahan. Menjadi kolektor budak-budak asing, berhidung pedang, bermata rusa, berkulit sutra, dan bertubuh biola. Sementara kita yang hidup di zaman akhir ini, cukuplah mengkoleksi burung kicau, kucing, akik, atau vespa tua saja. Ataupun jika memaksa diri menjadi kolektor wanita-wanita sejenis Wulan Guritno, bisalah mengkoleksi walpapernya saja. Mau apa lagi?