JALAN PRAKTIS MENERBITKAN BUKU



Sekalipun bacaan online bisa diakses secara mudah dan gratis, tetapi tampaknya dunia perbukuan cetak masih terus berjalan. Ini juga serupa masih kuatnya dunia kertas dalam industri media cetak seperti Koran, tabloid dan majalah yang masih beredar. Ada penurunan oplah pada media lama, tetapi juga ada perkembangan pada media-media cetak yang baru.

Tak terkecuali pada buku. Masih terus berlangsung cetak-mencetak dan berebut menemukan pangsa pembacanya. Bahkan tren baru adalah munculnya banyak buku yang dicetak oleh penulis atau lembaga non penerbitan. 

Di Bandung, tepatnya di Penerbit Nuansa Cendekia, pada 3 tahun terakhir ini banyak menerbitkan buku di luar program dari redaksi. 

“Banyak penulis atau lembaga yang menitipkan karyanya untuk terbit di penerbitan kami. Misalnya pada rentang bulan Juli hingga September 2014 belas saja terhitung ada lebih 10 buku dari penulis luar,” kata Pungkit Wijaya, salah seorang awak redaksi Nuansa Cendekia.

Menurut dia, kebutuhan penulis menitipkan penerbitan dengan memodali naskahnya itu disebabkan banyak kepentingan. Misalnya, penulis butuh bukunya terbit pada bulan, dan bahkan hari tertentu sehingga tidak mungkin menunggu waktu antre melalui program seleksi naskah redaksi. 

"Mereka lebih memilih menerbitkan dengan memodali sendiri, atau dibiayai sponsor,” katanya. 

Kedua, bisa juga oleh lembaga, perusahaan atau organisasi penulis itu memang memiliki anggaran khusus untuk publikasi. “Rata-rata mereka enggak mau ribet untuk urusan layout, editing, dan proses cetak sehingga lebih baik menyerahkan ke penerbit buku seperti di Nuansa Cendekia yang infrastrukturnya jelas dan efektif untuk menghasilkan penerbitan buku secara cepat.”

Alasan lain menurut Pungkit, sekarang penulis menerbitkan buku tidak semata untuk mencari duit, melainkan untuk banyak tujuan. Misalnya agar bisa cepat terbit lebih baik mencari duit di luar penulisan menggandeng pihak sponsor atau cara lain. Dengan itu mereka cepat punya karya. 

Menurut Pungkit, ini tidak mengherankan mengingat sekarang para penulis sebagian juga kelas menengah yang rata-rata berpenghasilan lebih. Misalnya untuk mengeluarkan biaya Rp 25 juta untuk buku sedang dengan oplah 1.000-1.500 eksemplar, itu mampu dan bukunya bisa terbit segera. Bahkan ada pula sebagian penulis yang karena memiliki jabatan tinggi bisa mengeluarkan uang lebih 100 juta untuk membiayai penerbitannya dengan jumlah buku cetak di atas 3.000 eksemplar.

Sebagian dijual sendiri, dibagi-bagikan sebagai kado intelektual, ada pula yang dimasukkan ke toko buku. Bahkan mereka sendiri tidak tahu apakah bukunya akan laku atau tidak. Tetapi yang penting masuk di rak-rak toko buku. Kalau hanya laku sedikit, mereka sudah tidak kaget karena memang penjualan buku itu sulit ditebak. 

"Nuansa Cendekia sejak 10 tahun yang lalu memang akrab dengan jejaring penulis sehingga wajar jika belakangan ini pola penerbitan bukunya tidak melulu konvensional dan birokratis," ujar Pungkit.

Penerbit yang didirikan Taufan Hidayat, Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sekarang terus menerbitkan buku. “Karena kami sadar kebutuhan penulis zaman sekarang ini bermacam-macam, maka kami pun fleksibel. Prinsipnya kerjasama itu penting untuk menghasilkan kegiatan yang produktif,” ujar Hasyim Rosidi, kepala Bagian Marketing Penerbit Nuansa Cendekia Bandung.

Menurut Hasyim, dengan kerjasama yang baik antara redaksi dan penulis, juga lembaga dan perusahaan di luar penerbitan, menjadikan penerbit lebih hidup, tidak sekadar mengurusi naskah-naskah hasil seleksi yang butuh analisis khusus untuk membidik segmen pembaca. "Dengan pola kerjasama seperti ini,  bisnis jalan, idealisme dalam kepedulian kita terhadap bacaan tetap terjaga, dan satu lagi, kami banyak teman dari luar, seperti bisnisman, politisi, dan tokoh-tokoh masyarakat," ujarnya menjelaskan. 
Syarif Yahya
 
http://katakini.com/berita-jalan-praktis-menerbitkan-buku.html 

Ketika Penulis Mudah Menerbitkan Buku

 Bandung punya pesona dalam urusan perbukuan. Selain seringnya event pameran, juga penuh dengan kegiatan buku. Sekalipun mungkin dunia buku di Bandung tak semeriah bidang industri kreatif lain, tetapi bagaimana pun juga harus diapresiasi.  Penerbit-penerbit besar, menengah dan kecil masih eksis dan itu menjadi bagian dari transformasi sosial kelas menengah yang doyan ilmu.
Satu hal yang menarik dalam dunia perbukuan adalah hubungan penulis dengan penerbit. Sekalipun ribuan penerbitan, tetap saja saat ini keluhan naskah sulit terbit dari penulis terus bermunculan. Maklum, sebab utamanya adalah kemampuan penerbit menyerap ribuan karya dari para penulis tidak sebanding. Itu yang jadi masalah utama. Dan kemudian saya mencoba mengapresiasi salahsatu cara “penerbit” memberikan solusi kepada para penulis agar bukunya lebih cepat terbit dan tetap diperlakukan sebagaimana mestinya buku-buku bermutu yang lolos seleksi.
Di Penerbit Nuansa Cendekia, tempat saya banyak belajar dan juga berkonstribusi memberikan naskah-naskah, saya bertemu Yopi Setia Umbara, redaktur Pelaksana yang setiap hari menggawangi naskah-naskah para penulis. Kang Yopi selain hobi mendata naskah yang masuk dan mengajukan dalam ruang seleksi, juga sering melayani para penulis yang ingin naskahnya segera terbit tanpa melalui proses seleksi dengan system membantu modal, atau membantu penjualan.
Berikut ini beberapa hal yang saya perlu sampaikan dari tanya tawab saya (Syarif Yahya) dengan Yopi Setia Umbara (Redaktur Pelaksana Penerbit Nuansa Cendekia Bandung), September 2014.
Mengapa redaksi ini membatasi diri pada jumlah dan jenis naskah yang lolos untuk diterbitkan?
YOPI: sebenarnya tidak membatasi, tetapi dalam dunia bisnis, pasti ada yang namanya modal. Nah, dalam urusan modal, kemampuan kita berapa setiap bulan? 50 juta? 100 juta? 1 milyar? Kalau kemampuan kita, katakanlah Nuansa Cendekia rata-rata adalah memodali Rp 200-300 juta per bulan, itu sudah kita plot untuk sekian naskah dengan ketebalan sekian, oplag sekian dan seterusnya. Modal ini tergolong kecil, karena itu kita harus kelola sebaik mungkin agar produktif dan tidak terseok-seok menghambat program kerja perusahaan. Dari situlah istilah yang pas adalah keterbatasan. Dan keterbatasan itu bukan hanya disebabkan modal, melainkan juga oleh kemampuan kerja tim work perusahaan, kemampuan daya serap percetakan dan juga kemampuan kerja distributor sekaligus administrasi.
SAYA : Memang rata-rata naskah yang diterbitkan oleh Nuansa Cendekia berapa jumlahnya setiap bulan?
YOPI: Kalau setiap bulan sulit menghitungnya. Per tiga bulan paling tidak 8-12 buku. Tapi itu juga bukan patokan yang menjadi target karena dalam setiap cetak buku ada yang tebal yaitu di atas 400 halaman, menengah, sekitar 250-250 halaman, dan tipis antara 80-140 halaman. Lagi pula soal oplag juga menentukan. Bisa saja buku dicetak 2.000, 1.000, tetapi ada pula yang rata-rata kita terbitkan adalah 3.000 eksemplar sampai 5.000 eks. Tergantung kebutuhan marketing.

SAYA: jadi dari keterbatasan tersebut Anda bermaksud membantu para penulis agar lebih cepat dengan modal sendiri?
YOPI: Ya. Itu. Sayang kan, banyak naskah bagus dan memiliki potensi penjualan yang bagus pula, tetapi karena kita memiliki keterbatasan, maka solusinya adalah saling membantu. Dalam hal ini kita bantu cetak lebih cepat dengan dimodali para penulis sendiri atau pihak sponsor, dan dari situ kita tidak keteteran dalam aspek permodalan. Toh yang utama kita tidak berdagang kepada penulis, melainkan sama-sama berdagang masyarakat. Artinya kita membantu penulis, penulis juga membantu kita.

SAYA: Bagaimana dengan para penulis yang tidak punya modal?
YOPI: Punya modal atau tidak sebenarnya kedudukannya sama. Kalau lolos seleksi, naskah milik orang kaya sekalipun tetap kita modali. Nah, pada aspek seleksi ini kita lihat kualitas. Misalnya penulis A karyanya memang bagus dan layak untuk publikasi. Kita tidak ribet soal penjualan. Lempar ke toko saja langsung. Dan jangan lupa, ada juga penulis yang karyanya jelek tapi punya modal uang. Tidak sertamerta lolos begitu saja. Kita menyediakan bacaan ke masyarakat harus bagus. Kalau tidak bisa optimal sampai tahap karya bermutu, minimal tidak buruk dan enak dibaca. Jadi tidak bisa kita menilai naskah semata-mata karena uang. Uang itu perlu dan penting, tapi dalam dunia industry kreatif seperti ini kita percaya bahwa nilai juga bagian yang harus diperhatikan. Apalagi kami dan teman-teman redaksi di sini sangat perhatian pada upaya kreativitas para penulis. Penulis pemula kita arahkan, penulis senior berbagi ilmu. Dan karena itulah kita rajin berdiskusi dan berjejaring bersama pihak luar.

SAYA: Siapa saja yang menerbitkan buku dengan sistem kerjasama seperti itu?
YOPI: Kebetulan Nuansa Cendekia itu penerbit hasil kombinasi antara kaum akademik dan aktivis. Nah, dari situlah banyak naskah dari para dosen, tapi juga sering berkait dengan teman-teman aktivitis baik aktivis politik, seniman, LSM, maupun aktivis yang tidak jelas…hehe…..

SAYA: Kalau misalnya saya mau menerbitkan buku dengan modal sendiri itu bagaimana gambaran umumnya?
YOPI: Mudah. Kita ketemu. Bicarakan secara detail untuk mengarah pada upaya keberhasilan penerbitan. Banyak cara. Salahsatunya misal, kita menerbitkan buku A. Buku tersebut kita terbitkan misalnya 3.000 eksemplar. Penulis kita harapkan untuk mengambil minimal 1.000 eks. Nah modal di situ pada awalnya tetap kita tanggung. Karena kita punya percetakan sendiri, status awal bisa ngutang. 2-3 minggu. Begitu buku terbit, nanti penulis membayarkan harga buku 1.000 eks tersebut dengan diskon khusus yang murah. Sebagian yang tidak diambil penulis, status didistribusikan ke toko buku, dan di situ penulisnya masih memiliki hak ekonomi royalti.

SAYA: Model lain?
YOPI: Yang biasa butuh cepat adalah instansi atau komunitas yang membutuhkan buku untuk internal. Rata-rata cetaknya 1.500 eksemplar. Itu dibeli oleh instansi dan tidak beredar ke toko buku. Hitungannya yang seperti itu lebih murah karena tidak mengacu pada harga bandrol umum, melainkan hanya dihitung oleh Hitungan Pembiayaan Percetakan dan Harga Produksi keredaksian meliputi editing, koreksi, layout isi, desain sampul, dan ongkos kirim. Semacam itulah.

SAYA: Dengan itu semua bisa berjalan lancar?
YOPI: Alhamdulillah. Karena komunikasi kita baik dan saling pengertian, selama ini tidak ada masalah yang berarti. Kami mendapatkan banyak relasi dan pengalaman yang memperkaya hubungan persahabatan dan persaudaraan,para penulis yang tadinya tidak mengerti dunia produksi secara detail kemudian ikut serta memahami dunia penerbitan dan percetakan. Dengan itu kita juga memiliki hubungan yang berujung pada pengetahuan dan pengalaman.[]


Program Kerjasama Penerbitan Buku


Salahsatu program penerbitan buku di Nuansa Cendekia Grup (Nuansa Cendekia, Marja, dan Medium) adalah melayani program penerbitan bagi para penulis yang bukunya ingin diterbitkan dengan biaya sendiri. Biaya penerbitan oleh penulis ini memiliki keunggulan, yakni bisa digarap lebih cepat karena prosesnya di luar jadwal produksi untuk naskah-naskah hasil seleksi.
Biasanya, tujuan penulis menerbitkan buku sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan program instansi internal, dan tidak dijual di toko buku umum. Sebagai contoh misalnya, seorang penulis menerbitkan buku milik instansi tertentu yang akan mengadakan pelatihan, promosi, atau membutuhkan kado berupa buku untuk para relasi pada masa akhir jabatan. Dengan itu mereka ingin memiliki buku yang diterbitkan sesuai standar buku-buku umum, memiliki ISBN dan pengemasan sebagai buku yang baik dan layak dibaca oleh publik.
Seperti apa buku yang diterbitkan oleh penulis dengan modal sendiri? Ada banyak contoh. Sebut saja dalam rentang bulan Agustus dan September ini Nuansa Cendekia dan Medium menerbitkan buku Pedoman Pariwisata Papua Barat Versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; Burung CendrawasihIslam, Manusia dan Lingkungan Hidup;  Tauhid For Teen;Konstruksi Jalan Rel dan Keselamatan Perjalanan Kereta Api; dan, Manajemen Strategi Pendidikan.
Perlu kami sampaikan kepada para penulis atau instansi yang ingin bekerjasama dengan Nuansa Cendekia dalam program tersebut. Pertama, modal penerbitan dibiayai oleh penulis atau instansi untuk keperluan: 1) Produksi Redaksi yang meliputi  editing, proof reading/koreksi, desain isi, desain sampul, ISBN dan lain-lain; 2) Produksi percetakan untuk mencetak hasil karya yang sudah jadi; dan, 3) Kerjasama lanjutan/distribusi (bagi penulis yang ingin hasil terbitan bukunya sebagian dipromosikan/dijual di toko buku umum).
Pada aspek permodalan tersebut, penulis membiayai sepenuhnya. Tarif pembiayaan tersebut dihitung berdasarkan komponen-komponen sebagai berikut. Pertama, Biaya redaksi. Perhitungannya meliputi editing, koreksi, desain isi, dan desain sampul.  Kedua, biaya cetak, dihitung dengan oplag minimal cetak 1.000 eksemplar, kemudian untuk mencapai harga lebih murah tiap eksemplarnya dicetak 1.500 eksemplar, atau lebih murah lagi 2.000 eksemplar dan seterusnya.
Berapa lama proses keredaksian sampa menjadi sebuah buku? Proses di redaksi bisa dilakukan dalam waktu antara seminggu, dua minggu atau, bisa juga dalam waktu yang lebih lama. Proses keredaksian tergantung pada kuantitas halaman naskah. Adapun untuk proses cetak buku bw (tidak berwarna/non-color) cukup membutuhkan waktu antara 8-12 hari (dengan asumsi prosuksi tidak lebih dari 5.000 eks). Sedangkan, untuk buku full color biasanya antara 10-14 hari.
Bagaimana sistem pembayarannya? Cukup mudah, pembayaran dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama, saat order disepakati, penulis (instansi) membayar 50% biaya penerbitan. Selanjutnya, atau pembayaran 50%  tahap kedua dibayar setelah buku jadi (atau pada saat pengambilan buku).
Bagaimana dengan pengiriman dan biayanya? Untuk pengiriman wilayan Jawa Barat, DKI dan Banten biasanya diberikan ongkos kirim gratis. Adapun untuk wilayah di luar daerah tersebut, menyesuaikan dengan tarif jasa pengiriman.
Demikian penjelasan singkat untuk program penerbitan untuk para penulis (instansi). Untuk pembicaraan lebih lanjut bisa hubungi Yopi Setia Umbara:
tlp: 081321741476
Terima kasih
Yopi Setia Umbara

KAMUS PINTAR AGAMA ISLAM


Hakikat buku ini, adalah semata kumpulan ‘ketidaktahuan saya’. Begini!, ketika saya banyak membaca berbagai buku, terutama buku Islam – baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia – saya banyak tersandung kemuskilan istilah. Dan itu sangat menggangu, karena saya harus menghabiskan waktu yang kadang tidak sebentar, hanya untuk mengetahui istilah yang garib. Sebelum misteri itu terkuak, maka saya akan risau karena tak menemukan artikulasi sempurna di antara kalimat-kalimat yang saya baca.

Saya harus bangkit, mencari kamus. Dan ketika saya hanya menemukan ‘kamus kata’ bukan ‘kamus istilah’ maka saya akan malas untuk membaca tanpa kata yang tak ganjil itu. Dan saya juga sadar, bahwa kepustakaan saya tergolong miskin dan tidak mampu. Kamus istilah saja nihil.

Setelah lelah berlebaran di tahu 2013, saya mencoba mengumpulkan kata-kata garib itu. Dan terkumpul sekitar 100 istilah. Dari situlah saya bermaksud menambah kata-kata lain, agar tebal dan patut disebut sebagai sebuah buku. Kebanyakan, kata-kata itu saya dapat hanya dengan mengingat-ingat pelajaran dulu di madrasah. Lainnya, kadang saya temukan di tengah menulis, ketika mengajar, atau ketika membaca.
 


***

Sebenarnya, istilah kamus adalah istilah salah-kaprah. Sementara istilah Arab yang tepat untuk menyebut sebuah karya yang mengumpulkan perbedaharaan kata dan istilah, adalah al-mu‘jam, yang berasal dari kata ‘ajama berarti ‘menghilangkan kesamaran’ atau ‘menjelaskan’.

Sedangkan istilah qamus muncul ketika untuk pertama kalinya digunakan nama kitab mu‘jam oleh Fairuzabadi (1329-1414) yaitu Al-Qâmus Al-Muhîth (kamus lengkap), karya Fairuzabadi ini sangat masyhur di dunia Arab terutama Islam, sehingga nama kitab tersebut (Al-Qamus) menjadi istilah khusus untuk menyebut sebuah kitab yang mengumpulkan kosakata. Bahkan saking masyhurnya, mampu mengeser istilah mu’jam.

Dalam sejarah penulisan, mu‘jam atau kamus telah renta seusia peradaban manusia itu sendiri. Mu‘jam telah ada pada peradaban Babilonia dan Bangsa Asyur diperkirankan 500 tahun sebelum Masehi, yang ditemukan dalam sebuah piring silinder di perpustakan kuno bangsa Asyur di sebuah kota yang disebut Niyanikia. Tulisan itu merupakan kumpulan penjelasan arti kata bahasa Asyur dan Babilonia.

Bangsa Romawi telah menggunakan  sistem kamus sejak 300 tahun sebelum masehi. Tokoh-tokoh yang masyhur di antaranya adalah: Aristhopanes dari Bizantium (195-180 SM) yang menuliskan makna dan tafsir kata-perkata bahasa Yunani yang langka, pada saat itu Aristhopanes menjabat sebagai pengawas perpustakaan Alexandria yang didirikan oleh Alexander Agung.

Sementara penulisan kamus oleh bangsa Arab, baru dilakukan setelah tersebarnya Islam ke luar Arab yang menyebabkan percampuran antara Arab dan ajam (non Arab). Sejak itu, bahasa Arab terancam bercampur dengan bahasa ajam, sementara bahasa Al-Quran adalah murni Arab dan hanya bisa dipahami kemukjizatannya dengan kemurnian itu. Maka timbullah kepedulian dari sebagian sahabat untuk menulis dan mengumpulkan kata-kata Al-Quran dalam bentuk mu‘jam. Untuk pertama kali, Ibnu Abbas (w 678) menuliskannya atas permintaan Nafi’ bin Al-Azraq (w 684) dan masyhur disebut Masâ’il Nafi‘ bin Al-Azraq fi Al-Qur’an (masalah-masalah Nafi’ bin Azraq dalam Al-Quran).

Setelah itu muncul beberapa mu‘jam yang masih terbatas pada bahasa Al-Quran. Seperti Gharîb Al-Qur’an (kat-kata langka dalam Al-Quran) karya Abu Said Aban bin Taghlib Al-Jariri (758 M/141 H). Kemudian Tafsîr Gharîb Al-Qur’an (tafsir kata-kata langka dalam Al-Quran) karya Abdullah Malik bin Anas bin Malik (795 M/179 H).

Baru setelah, paruh abad kedua Hijriyah, muncul mu’jam yang menuliskan perbendaharaan kata Arab secara umum, tidak terkhusus pada Al-Quran, seperti Al-‘Ain (sumber) karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Al-Bâri‘ fi Lughat (Piawai dalam bahasa) karya Abu Ali Al-Qali, Al-Qâmûs Al-Muhîth (Kamus Lengkap) karya Al-Fairuzabadi, dll.

***

 Kamus ini, mengumpulkan istilah-istilah yang lazim digunakan pada buku-buku pesantren, madrasah, universitas Islam, dan buku keislaman umum. Mencakup tauhid, fikih, tarikh, tafsir, musthalah hadis, ukuran/timbangan/takaran Islam lama, faraid, falak, hisab, tasawuf, dll. Semantara Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA – Sang pengantar kamus ini – sangat  memberi ruh pada buku ini ketika nama beliau di tulis di muka sampul. 

PEREMPUAN BERNAMA ARJUNA 2 (sinologi dalam fiksi)


 “Perempuan Bernama Arjuna ke-2: Sinologi dalam Fiksi”, lanjutan dari Novel “Perempuan Bernama Arjuna: Filsafat dalam Fiksi”.

Novel pertama dilanjutkan ke novel kedua karena, menurut Penulisnya, Remy Sylado, karena kisahnya belum selesai karena selain pengetahuan filsafat Barat dan Timur, Remy Sylado melihat bahwa Indonesia tidak sebatas berurusan dengan kedua filsafat itu, melainkan juga dengan sinologi, sebuah kajian literatur tentang pengetahuan dan kebudayaan Cina di Indonesia yang sudah semestinya kita ketahui.  Cina, menurut Remy memiliki kontribusi yang besar dalam ruang publik kebudayaan. Banyak tradisi kehidupan kita yang berurusan dengan kebudayaan Cina melalui imigran-imigran Cina zaman baheula hingga keturunan-keturunannya sekarang yang telah menyatu menjadi warga Indonesia.

Bandung sebagai salahsatu bagian terpenting dari sejarah Indonesia juga merasakan sentuhan yang luar biasa dengan kebudayaan Cina. Karena itulah, setelah sukses dengan “Filsafat dalam Fiksi,” Remy Sylado sangat ambisius menulis sejarah hubungan Cina di Indonesia, dengan mengambil setting kehidupan di Bandung. Dan jadilah novel apik nan elok yang sekarang kita dapatkan ini.

Remy Sylado Menulis:
“….Kebetulan, Bandung memang kota yang romantis nian untuk memadu cinta-kasih-sayang tersebut. Ini sudah dikatakan oma-opa sejak zaman baheula, zamannya kuda gigit besi. Dan, setahu saya pula, dari bacaan lama, pernah dikatakan oleh seorang pengembara, lupa namanya, bahwa pada zaman colonial dulu, ada nyanyian dalam ahasa kereseh-peseh yang khas seleranya serdadu-serdadu Belanda pribumi tentang eloknya Bandung bagi pengantin baru….”

LALU:
“….Sampai sekarang ini toh di tengah-tengah pusat kota Bandung tetap berdiri kompleks pelacuran bernama resmi Saritem, konon kependekan dari bahasa Jawa yang sudah populer sejak zaman Bung Karno kuliah di ITB, yaitu ‘sari tempik’, dan oleh para preman zaman kiwari dijuluki sebagai ‘bursa heunceut’, atau lebih jenaka lagi disebut oleh penganut life style sebagai ‘purenva’, singkatan dari “pusat rental vagina”. Itu memang penamaan yang betul. Sebab sesungguhnya pelacur bukan ‘menjual diri’ tapi ‘menyewakan tubuh’….”
Sungguh suatu kebanggaan bagi kita, seorang seniman dengan segudang pengetahuan sejarah dan berambisi terus menularkan pengetahuannya yang luar biasa tersebut bagi generasi Indonesia. Membaca novel tentu tujuan utamanya ialah mendapatkan kenikmatan dari sebuah literatur. Nah, dalam membaca novel kedua ini, kita akan benar-benar merasakan perasaan yang luar biasa menggugah nalar karena begitu banyak catatan-catatan sejarah yang menarik belum diungkap. Dan novel ini mengungkap banyak fakta sejarah kehidupan tempo dulu,yang sekarang kita temui berpararel dengan kondisi kontemporer.  Dengan kata lain, Remy memang menulis fiksi, tetapi fiksi itu memuat sejumlah fakta sejarah, dan karena itu sehabis membaca, kita akan mendapatkan pengetahuan yang banyak.
Remy Sylado Menulis:
“….Sebelum kami meninggalkan rumah Kan Hok Hoei ini, sang tuanrumah berdiri dari kursinya di mana di latarbelakangnya terpampang lukisan kaligrafi yang menarik perhatian saya. Kaligrafi itu sebuah pepatah.
                Begini tulisannya:
                chi bù qióng
                chuan bù qióng
                dà jiù shòu qióng 

                Saya bisa membaca tulisan Cina. Artinya: Makanan dan pakaian takkan membuat orang jadi miskin, tapi sekali saja melakukan salah perhitungan, maka ujungnya membuat orang bisa melarat. yang membuat saya suka adalah sebagai senirupa, kaligrafi Cina sangat intuitif dan indah.
                Karena tertarik, saya pun bertanya pada Kan Hok Hoei, “Siapa yang bikin kaligrafi itu?”
                Jawab Kan Hok Hoei, “Saya sendiri.”
                “Wah, ciamik,” kata saya.

LALU:
“….Tapi memang jasa Konghucu yang melandasi tradisi ini. Tradisi merayakan Imlek yang sekarang populer dengan ucapan 'gong xi fa chai' adalah ekspresi khas orang Cina pada sisten penanggalannya yang memberi berkah kepada manusia hidup. Ini dihubungkan dengan ketepatan waktu, bagi petani untuk bercocok tanam. Memang, tak salah, adalah Konghucu yang berhasil menghitung keadaan alam, dan waktu yang tepat bagi manusia untuk bekerja. Kecendekiaan Konghucu itu, disertai dengan ajaran-ajaran pekerti, susila, akhlak, adab, bagi orang Cina disebut ‘nabi’."
                "Nabi?''
                "Ya, nabi. Jangan terkejut….



Desain Komunikasi Visual 
Penulis: Lia Anggraini dan Kirana Nathalia 
Penerbit: Nuansa Cendekia, 2014 

Saya suka melihat banyak desain-desain baru di internet, termasuk desain-desain iklan yang bertebaran di ruang publik. 
Sebagai orang yang tidak berurusan dengan proses kreatif itu, tentu hanya menikmati, atau bisa juga mengutuki. Saya menikmati jika desain-desain papan iklan atau iklan internet, juga televise itu bagus dan menarik. Tapi cepat-cepat mengutuk dalam hati jika melihat desain yang jelek. 

Sebagai penonton, tentu sikap seperti itu tidak bisa disalahkan. Tapi dengan buku ini, saya sekarang berubah dalam melihat kenyataan tersebut. Berbekal pengetahuan dari dasar melalui buku ini, saya sekarang punya bekal untuk melihat sebuah desain bukan hanya dari sisi baik dan buruk, tetapi lebih luas. Di antaranya adalah melihat dari sisi target, segmen, proses kreatif dan lain sebagainya. 

Ilmu sering lahir dari pengalaman/praktik, dan dengan menuliskan secara baik disertai contoh-contoh inilah buku ini sangat berguna bagi orang awam. Sekalipun saya tidak suka mendesain, tapi dengan membaca buku ini jadi tahu “apa sih dibalik kerja para desainer itu?” 

Nah, kalau untuk manfaat besar tentu buku ini sangat cocok dibaca para desainer, illustrator, atau juga para layouter penerbitan buku dan layouter di media massa seperti koran, majalah, tabloid dll. 

Buku tipis ini tergolong menawan karena bukan saja menampilkan uraian-uraian selukbeluk desainer, tetapi juga menampilkan ilustrasi-ilustrasi yang sangat cantik. Gambar2 produksi para penulisnya kebanyakan asli dibuat sendiri (kecuali ilustrasi contoh dari desainer/media lain). Dengan itu pula penulisnya benar-benar orang yang telah memiliki kemahiran dalam mewujudkan karya desainer.

Untuk Mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) pasti penting memiliki buku ini. Dan untuk siswa SMA/SMK yang ingin memulai proses kreatif, jelas butuh buku ini.[Syarif Yahya] 

Deskripsi dari Penerbit tentang DKV. 

“……Desain, Komunikasi, Visual. Tiga kata ini sekarang sudah dikenal luas sebagai satu pengertian umum di kalangan dunia industri, seni, dan bahkan masuk ke ruang lingkup publik yang lebih luas seperti dalam ruang publik politik, media massa dan event organiser. 

Pemaknaan tiga kata ini secara mudah sering dikaitkan dengan sebuah usaha atau kegiatan membuat “gambar-gambar dan tulisan” yang memiliki “nilai komunikasi tertentu” dan “dipublikasikan” ke masyarakat sebagai kegiatan “seni” (art). 

Dengan kata lain, DKV merupakan metode, cara atau strategi mengkomunikasikan ide-ide melalui sebuah karya yang di dalamnya memiliki target tertentu, seperti menyampaikan pesan atau menaikkan citra/pesona dari sebuah produk, tokoh, atau materi lain. 

Terang DKV merupakan kegiatan seni, tetapi bukan lagi model seni rupa, juga bukan sekadar kegiatan menggambar, melainkan lebih dari itu ialah kegiatan yang lebih bercorak strategis. Dengan penguatan beragam ilmu dari strategi tersebut, kegiatan seputar DKV memang harus diakui “lebih bercorak modern” dibanding kegiatan senirupa sebelumnya, dan praktis berhubungan dengan dunia industri….”(Redaksi Nuansa Cendekia dalam kata pengantar)