SABAYA & JARIYA

(Para budak wanita abad pertengahan)

Saya pernah berdikusi di warung kopi. Bukan tentang ilmu, tetapi film, artis, dan segenap kemaksiatannya. Ketika teman saya bertanya siapakah artis wanita idaman? Seketika kecerdasan saya menangkap sosok Wulan Guritno. Entah mengapa. Saya hanya tahu bahwa ia adalah artis yang di balik kulit halusnya mengalir darah Jawa-Inggris. Sementara tubuhnya jika ditopang sepatu hak tinggi, akan tampak menjulang seperti tiang listrik:semampai dan bertegangan tinggi.

Di kemudian hari saya membaca sebuah literatur klasik, tentang sosiologi era Abbasiyah, yang ditulis oleh seorang sastrawan Mu’tazilah Afro-Asia, bernama Al-Jahidz. Dalam catatanya, Al-Jahidz mengemukakan bahwa pada masa kegemilangan Abbasiyah, minat lelaki terhadap budak wanita menggalami peningkatan drastis, melebihi minat mereka kepada wanita merdeka.

Alasan pertama, para sabaya atau budak wanita yang dijual di pasar-pasar dengan harga seratus domba bahkan lebih, adalah wanita-wanita asing yang berparas lain dari paras wanita pribumi. Tentu saja itu memancarkan pesona tersendiri di mata laki-laki. Kata Al-Jahidz, orang Bashrah seleranya budak India, orang Yaman seleranya budak Habasyah, orang Syam seleranya budak Eropa. Dari situ, maka tidak aneh jika kemudian saya – dan Anda juga tentunya – mudah terpesona dengan wanita keturunan sejenis Wulan Guritno.

Alasan kedua, para sabaya dibedakan dengan wanita merdeka, dengan tidak memakai burka. Bahkan, kebanyakan budak-budak wanita hanya mengenakan pakaian sepinggang saja. Sehingga, pemandangan pegunungan yang indah di Baghdad kala itu, menjadi tambah indah dengan hadirnya gunung-gunung baru yang menggemaskan.

Oleh karena hanya berpakaian sepinggang, para lelaki yang berminat membeli, diberi kesempatan semaremnya untuk memilih para budak, dengan cara melihat rambut, leher, dada, perut, dan betis. Tentu saja ini sangat membantu meminimalisir kekecewaan para tuan di kemudian hari.

Nah ini sama sekali berbeda dengan lelaki yang ingin menikahi wanita merdeka. Para lelaki hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan. Dengan ini, potensi kecewa para suami dengan isi gamis dan kerudung wanita merdeka menjadi rentan. Jika dibanding dengan membeli budak.
Jadi, itulah mengapa dulu para lelaki berminat sekali memiliki banyak budak wanita.

***

Ya, seperti itulah beruntungnya orang-orang di Abad Pertengahan. Menjadi kolektor budak-budak asing, berhidung pedang, bermata rusa, berkulit sutra, dan bertubuh biola. Sementara kita yang hidup di zaman akhir ini, cukuplah mengkoleksi burung kicau, kucing, akik, atau vespa tua saja. Ataupun jika memaksa diri menjadi kolektor wanita-wanita sejenis Wulan Guritno, bisalah mengkoleksi walpapernya saja. Mau apa lagi?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »