Sore tadi untuk kali kedua saya melakukan riset toleransi beragama, di sebuah dusun kecil di bawah Gunung Payung: Ds Kemiri, Getas, Kaloran. Memasuki Kemiri saya harus menaklukkan tanjakan yang sekaligus kelokan. Beberapa ekor anjing menyambut saya dengan julur lidah penuh takzim.
Saya langsung menuju rumah seorang kiai setempat, melewati Vihara Damma Sosila dan Gereja Filadelfia. Dua ekor anjing berlari-lari curiga di belakang saya. Ketika saya masuk rumah kiai, dua anjing itu terbengong di tengah jalan, lalu mengonggong sekali kemudian pergi. Mungkin ia mengucap sebuah salam. Dan saya baru tahu, ternyata anjing tahu diri bahwa ia tidak boleh masuk rumah seorang kiai.
Banyak hal yang saya bicarakan dengan kiai itu. Pada intinya, adalah bahwa perlu sekali adanya formulasi syariat khusus untuk diterapkan di masyarakat plural seperti Kemiri. Mengingat, problem sosial-keagamaan di sana sama sekali berbeda dengan daerah lain. Tamsilnya, Perayaan Maulud pada setiap tahunnya. Di mulai dari pembacaan Barjanji sejak tanggal 1 Rabiul Awal, kemudian menggadakan acara Ambengan Ketan-Juroh pada malam ke-12. Panitia Ambengan selalu mengundang pemeluk Buddha dan Kristen sebagai bentuk kerukunan. Acaranya adalah makan bersama dengan menu Ketan dicampur Juroh (air gula Jawa). Biasanya diadakan di salah satu rumah warga selepas Isya. Setelah selesai dan umat non muslim pulang, maka barulah umat Muslim menuju masjid untuk menghatamkan Barzanji.
Siangnya, biasanya diadakan pengajian dalam rangka Maulid Nabi dengan mengundang seorang Da'i. Lagi-lagi, panitia akan mengundang seluruh warga apapun agamanya. Dan mereka yang diundang akan datang dengan pakaian muslim-muslimah dengan peci dan jilbab. Baik itu orang Islam, Buddha, Kristen, dan Katoliknya.
Ada juga tamu tak diundang yang pasti datang, yaitu Anjing. Para anjing biasanya mengikuti pengajian di bawah panggung, di pinggir pagar masjid, atau di bawah kursi pengunjung. Muslim Kemiri yang taat, sudah terbiasa mempraktekkan bersuci dengan tujuh basuhan yang salah satunya dicampur debu. Muslim yang lumayan taat, tidak menganggap anjing sebagai najis. Muslim yang kurang taat, masih memelihara beberapa anjing di rumah. Sebagai pekerjaan sampingan.
Oh ya, orang non muslim Kemiri, memakai jilbab bukan hanya di perayaan hari besar Islam, tetapi juga ketika meladang. Alasannya bukan menutup aurat, tetapi untuk menangkis serangan serangga jalang seperti nyamuk.
Jadi di sana. Jika Anda bertemu orang berjilbab, jangan buru-buru ucapkan salam sebab belum tentu Muslim. Jika Anda bertemu orang dikawal anjing jangan buru-buru menuduhnya kafir sebab belum tentu ia kafir. Anjing dan jilbab sepenuhnya bukan sebuah simbol, melainkan sejenis kearifan lokal. Anjing termasuk jenis ternak di Kemiri. Biasanya dijual ke pedagang, atau disembelih dan di makan di hari-hari besar. Orang Buddha khususnya, biasanya ikut merayakan Idul Fitri berikut baju baru dan aneka makanan di ruang tamu. Selain itu, mereka biasanya menyembelih anjing lalu dipanggang atau dimasak opor untuk hidangan keluarga.
Di acara pengajian semisal Maulid, ada beberapa hal yang harus dipatuhi seorang Da'i dalam tausiyahnya, yaitu tidak menyingung-nyinggung BERHALA, ZAMAN JAHILIYAH, ANJING, dan PERNIKAHAN BEDA AGAMA. Sebab itu bisa merusak toleransi yang telah dibina.