Mereka menyebutnya Meto’an Ketan Juroh. Meto’an diambil dari kata ‘metu’ (keluar), maksudnya makanan yang dikeluarkan untuk acara tertentu. Ketan-juroh ini menjadi spesial karena dijadikan hidangan utama di acara pirukunan tiap menyambut Maulid Nabi di desa Kemiri, Kaloran.
Malam 12 Rabiul Awal, saya berkesempatan mengikuti Muludan di sana. Tepat setelah Isya, sebelum Albarzanji digemakan toa masjid, saya diajak kiai setempat untuk mengikuti acara Meto’an Ketan-Juroh di rumah Pak Kadus terlebih dulu. Para lelaki sudah berkumpul di situ, membawa tumpukan rantang dua atau tiga. Selain mereka, ada pula dua ekor anjing di teras. Satunya berwarna hitam dan seekor lagi warnanya hampir sama dengan warna seragam pegawai negeri sipil. Saya menyapanya dengan senyum dan alhamdulillah dibalas tiga gonggongan.
Add caption |
Ramah sekali Pak Kadus menyambut saya. Bajunya batik kawung, pecinya hitam luwes di atas kepala. Setelah berbasa-basi sekian menit, Pak Kadus membuka acara dengan beberapa salam, yang mengingatkan saya pada salamnya Pak Prabowo. Tapi ini agak beda. Pertama; ‘assalamualaikum’, kedua ‘nammo buddaya’ dijawab ‘sado’ tiga kali, dan ‘salam sejahtera’. Yang terakhir ini mungkin bagi umat kristiani. Sekali lagi, warga Kemiri itu terdiri dari umat Islam, Buddha, dan Kristen.
Pirukunan menjadi tema utama sambutan Pak Kadus malam itu. Hanya sebentar tidak lebih dari seratus patah kata. Seorang sesepuh Muslim berpeci peot berkacamata tebal tiga mili-an, bertugas ‘ngabulaken’, sedang kiai di samping saya bertugas berdoa dengan bahasa Arab. Saya dengar doanya tidak begitu fasih, bahkan ada doa bagi pengantin juga yang terselip di situ.
Usai itu, kami bareng-bareng menikmati ketan-juroh. Rasanya tidak asing. Tapi kebersamaan malam itu betul-betul meresap membumbui ketan-juroh menjadi sedikit lebih nikmat. Sambil makan, Pak Kadus yang beragama Buddha, tiba-tiba mencolek saya untuk mengajak bicara. Ternyata, Pak Kadus meminta restu dan doa karena anaknya baru saja masuk Islam. Saya diminta mendoakannya. Saya melongo dan bingung persis bupati ketulup.
Seorang lagi di samping saya, bercelana training bertuliskan sebuah almamater sekolah menengah di Jakarta, mengenakan kaos hadiah cat tembok, kepalanya botak, mengatakan bahwa anak-anak Buddha di Kemiri, biasa ikut mengaji sore di rumah Pak Kiai, meski belum bersyahadat. Dan tiap malamnya juga masih mengikuti kebaktian di Vihara. Saya tambah mlongo dan nyaris sinting mendengarnya. Tapi justru itu unik menurut saya.
Katanya lagi, anak-anak Buddha yang pernah ikut ngaji, akan masuk Islam kalau sudah sekolah menengah, atau sudah bekerja, atau ketika menikah. Malah, ada yang sudah fasih membaca Juz Ama tapi tidak masuk Islam. Hahaha, saya tertawa sopan sebagai ungkapan rasa kagum bercampur geli. Orang botak itu, terus bercerita sampai saya terlena dan tak terasa telah habis ketan sepiring tambah jenang candil setengah mangkuk.
Saya dan warga muslim kemudian menuju masjid untuk membaca Albarzanji. Memanjati jalan menanjak. Menembus malam yang tak hening oleh jangkrik yang mengerik dan para anjing yang menggongong. Guk..guk..guk.. begitu