Oleh penulisnya - Sundari Mardjuki - mulanya ia ‘ditakdirkan’ menjadi gadis yang cukup terlunta. Dibesarkan di sebuah omah gedhek. Mungkin segi empat, dengan anyaman galar sebagai dindingnya. Bapaknya adalah misteri. Pergi dan tak pernah kembali. Biyungnya seorang petani tembakau. Wanita peladang yang mengerjakan pekerjaan lelaki. Ia tangguh dan sebenarnya cantik. Namun, terik matahari di ladang dan kemelaratan telah merubahnya menjadi muram. Belum lagi utang yang nglimolasi bahkan ngwolulasi, telah membuat wajahnya menjadi mirip pantat kuali.
Tema utama dalam perikehidupan Genduk adalah pencarian sosok bapaknya dan kehidupan petani tembakau yang problematis. Plot novel ini lancar nan urut. Terdiri dari susunan alenia-alenia yang asyik. Beberapa halaman merekam bagaimana kehidupan dusun di tahun 70-an dijalani. Gelap tanpa listrik. Televisi sebuah milik Pak Lurah menjadi hiburan orang sekampung. Ketoprak Siswo Budoyo adalah acara favorit. Dan Dunia Dalam Berita menjadi satu-satunya informasi. Alur ceritanya juga tidak kering, lantaran lagu dolanan, mantra jawa yang kerap dirapal biYung, dan puisi yang menegasi karakter cerdas seorang Genduk, akan menghadirkan kembali segenap kenangan kita di masa kanak.
Konflik diletuskan di halaman pertengahan. Setelah penulis dengan cukup detail menceritai kita bagaimana tembakau dipetiki, diperam, dirajang, dan dijemur, penulis kemudian bertutur tentang bagaimana sebetul-betulnya petani tembakau terjebak dalam lingkaran setan perdagangan tembakau. Petani ditumbalkan. Mereka buta harga. Taipan di kota yang menentukannya. Itupun melalui perantara disebut Gaok. Dan gaok, yang dalam hal ini diperankan oleh Kaduk (yang oleh Genduk kerap disebut; celeng), mempermainkan petani dengan bualan. Petani yang naas, bisa rugi lusinan keranjang. Bahkan, Genduk lebih dari itu, demi tembakau, ia harus dijamahi Kaduk di Tuksari.
Yang apes dan tidak tegar, bisa bernasib seperti Pak Wondo yang mati ngendat di sebuah pohon beringin. Yang untung, bisa bernasib seperti Sumi anaknya Pak Sis yang bisa mengenakan rok warna orange. Sebuah warna langka saat itu. Atau seperti Kisut yang saking senangnya, buru-buru membeli kulkas. Setiba kulkas di rumah, ia baru sadar bahwa di dusunnya, listrik belum mengalir. Sikak!
Ah, sudahlah, beli dan baca saja novelnya, agar Anda tahu bagaimana nasib bapak Genduk dan bagaimana kelak nasib para petani tembakau, juga nasib Genduk dan biYungnya di Sindoro sana.