Self Publishing dikenal sebagai cara menerbitkan buku seorang penulis secara sendiri. Konsep ini mengacu pada beberapa alasan. Pertama karena penerbit tidak meloloskan naskahnya sehingga naskah penulis tersebut tidak bisa terbit. Tidak lolos seleksi tentu bukan berarti tidak bagus.
Banyak penerbit yang sebenarnya minat dengan naskah tertentu tetapi tidak punya alokasi modal, waktu, atau karena alasan tema buku sudah ada yang diterbitkan. Kedua, bisa jadi karena alasan penulis itu sendiri kesulitan menjalin kerjasama dengan pihak penerbit. Biasanya penulis pemula memang sulit menembus dapur redaksi untuk meloloskan naskahnya dan diterbitkan dengan modal dari penerbit.
Makin banyaknya penulis dengan tidak seimbangnya jumlah penerbit membuat penulis harus kreatif. Menerbitkan dengan modal sendiri, sekalipun mampu secara finansial, bukan berarti mudah karena misalnya kita akan mencetak 1.000eksemplar dan beredar di toko, maka harus menggandeng distributor. Kalau penulis rata-rata kesulitan berhubungan dengan redaksi, tentu akan lebih sulit berurusan dengan distributor yang kepalang jauh sulitnya dipahami pola kerjanya.
Berada di Penerbit Nuansa Cendekia beberapa waktu lalu, saya memahami mengapa self publishing itu patut dijalankan oleh para penulis. Nuansa Cendekia melalui divisi Penerbit Medium yang bergerak di self-publishing tentu sangat berguna bagi para penulis yang memiliki modal sendiri.
Ada beberapa penulis yang memodali naskahnya terbit di Penerbit Medium yang kantornya nginduk di Nuansa Cendekia, sukupbaru no 23 Ujungberung Bandung. Ada yang modal Rp 12 juta untuk buku tipis (di bawah 100 hlmn), ada pula yang memodali Rp 17juta untuk buku setebal 200 halaman.
Ada pula yang lebih dari itu. Modal dari penulis itu biasanya untuk biaya 1) cetak, 2) dapur redaksi (editing, sampul, lay-out, koreksi, isbn/logo).
Rata-rata buku yang terbitkan Penerbit Medium itu dicetak 1.000 eks dan distribusikan oleh Distributor Nuansa Cendekia dengan konsep bagi hasil. Distributor mengambil 50% dari harga bandrol. Mengapa 50%? Kata Pak Hasyim Rosidi, karena rata-rata toko buku mengambil 35-40% dari Nuansa. Jadi, Distributor Nuansa sendiri hanya mendapat laba kotor antara 10-15. Kotor karena biaya pengiriman ke berbagai kota di Indonesia juga cukup membebani.
Dari pembagian hasil (titip jual) itu penulis bisa mendapat keuntungan 40% dari buku yang laku dan dibayarkan oleh toko buku. Modal sendiri dapat untung gede itulah konsekuensi positif dari penulis karena mau memodalinya. Tentu ini lebih besar daripada diterbitkan dengan modal penerbit yang hanya mendapat royalty 10%.
Saya kira, pola yang seperti ini perlu diapresiasi oleh para penulis. Selain mendidik keberanian untuk produktif mempublikasikan karyanya, juga mempercepat bukunya edar. Sebab salahsatu pekerjaan yang melelahkan dari penulis itu adalah bertahun-tahun melamarkan naskahnya ke penerbit dan tidak lolos seleksi. Capek kan?
Bagi yang ingin naskahnya terbit menjadi buku, agaknya perlu menjalin kerjasama dengan penerbit Medium. Hubungi sajamedium.redaksi@gmail.com.