OASE JIWA



Karya Kanthongumur
Melalui kata oase yang dipilih sebagai judul, penulis buku ini, tampak sekali sengaja menggugah kita untuk sekadar sadar bahwa jiwa kita sebetul-betulnya kerontang. Laksana gurun Hijaz yang langitnya tak banyak memiliki awan penghasil butir hujan. Memang di selatan Hijaz, terbentang luas samudera yang memungkinkan mengirim uapan air ke langit gurun, namun, angin Samum dari ngarai dan padang, selalu saja menghalaunya untuk kembali ke selatan. Maka keringlah gurun karena hujan yang jarang.
Jadi, oase adalah sebidang kehidupan di tengah wilayah luas yang tak ramah lagi mengancam. Dan buku ini, sepenuhnya merefleksikan maknawi oase itu. Sebab isi buku ini, sepenuhnya merupakan rangkuman pengetahuan dan pengalaman jiwa Kiai Sepuh yang ditimba dari laku kehidupan yang dijalani dengan sebuah kematangan spiritual. Ibarat air, jika isi buku ini kita percik-percikkan ke hamparan jiwa kita yang tandus, setidaknya akan merangsang sebuah kehidupan, sebagaimana oase menghidupi akasia, zakum, atau tin.
Penulis, yang saya kenal karena dulu sekamar, adalah sosok yang saya yakini benar-benar paham akan kehidupan berikut arah kearifan fikir Maha Guru Maimun, oleh karena saking lawasnya ia menjadi orang dekat sebagai khadim yang setia. Itu bisa anda buktikan dengan melihat banyaknya koleksi foto penulis bersama Maha Guru Maimun di akun facebooknya.
Isi buku yang ditulis dengan keprihatinan dan tirakat menahan kelajangan di tengah proses perubahan wajah penulis yang terus berjalan menuju penuaan ini, sebagian besar berupa tafsir tematik yang dituturkan Maha Guru Maimun di beberapa pengajian beliau. Ada beberapa yang disarikan dari kitab karya beliau, seperti metode penghitungan awal bulan Hijriyah yang disarikan dari kitab Nususul Ahyar, dan 14 bait Kasidah Muhammadiyah karya Al-Bushiri yang ditambahi 14 bait karya beliau yang disarikan dari kitab Maslak Tanasuk Al-Maliki. Ada yang ditranskrip dari pengajian Ihya' Ulumudin yang digelar saban pagi. Juga ada yang dipetik dari sebuah mauizah yang disampaikan dalam sebuah akad nikah.
Buku ini, meski sarat isi, namun hemat saya masih kurang memenuhi penyajian susastra. Reka dan susun bahasa masih belum menyentuh estetika. Sehingga buku ini hanya bisa digali dari sisi isi, tapi belum bisa dinikmati sebagai kreasi literasi.
Sudah saatnya santri untuk banyak belajar estetika kepenulisan dari buku karya penulis hebat. Selama ini, santri sangat alergi dengan buku. Buku bahkan dianggap sebagai perantara kesesatan. Padahal, membaca buku bukan berarti aktifitas menggali isi semata, tapi jua bisa sekadar merekam bahasa dan bagaimana tulisan dihidupkan melalui kerajinan merangkai kata.
Kemiskinan ilmu merangkai kata yang melanda kalangan santri, akan berdampak pada rendahnya angka minat khalayak dalam membaca karya-karya mereka, padahal sejatinya, karya para santri sangat berisi dan memanfaati. Jadi, sebenarnya, ini hanya soal kemasan. Sebagaimana rumus penjual merayu pembeli.
Lebaksiu 29 November 2016.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »