Syarif Yahya
Setiap Senin Legi bulan Bakda Mulud, dusun
Kemiri desa Getas kecamatan Kaloran rutin mengadakan acara Merti Dusun. Tahun
ini, jatuh pada tanggal 16 Januari 2017. Acara selalu digelar dengan meriah sehari
semalam. Pagi benar, Kemiri sudah sibuk. Para pedagang dolanan dan jajanan
sudah berderet di jalan dusun. Anak-anak, seolah tak ingin ketinggalan untuk menjadi
bagian dari kemeriahan itu, pun ramai-ramai mengirim surat izin untuk tidak
masuk sekolah.
Merti berarti memberi sesaji kepada
leluhur. Jadi Merti Dusun berarti memberi sesaji kepada leluhur dusun. Rangkaian
acaranya, dimulai sejak pagi pukul 08:00 Wib dengan menata sesaji dan metokan
(ngetoake gendurenan). Acara itu dihadiri semua warga, baik Muslim, Buddha,
maupun Kristen. Mbah Marwoto (74) selaku sesepuh memimpin acara tata sesaji,
sekaligus menerangkan makna filosofinya. Harapanya, generasi muda memahami dan
mau nguri-uri tradisi kampung kelahirannya. Aneka makanan yang terdiri
dari makanan pokok, jajan pasar, bunga, dan buah-buahan di tata di atas daun
jati. Kemudian sesaji-sesaji itu di letakkan di beberapa tempat. Di antaranya
adalah di atas soko papat rumah Pak Kadus sebagai tuan rumah puncak
acara di malam harinya. Selain sesaji di atas daun jati, tiap saka itu juga digantungi
satu tandan pisang.
Selesai itu, acara metokan pun
dimulai dengan beberapa sambutan. Sambutan rampung, Mbah Jumari (62) sebagai tokoh
muslim menjadi pengabul atau yang mengutarakan hajat warga. Acara ditutup
dengan doa oleh seorang mangalia (tokoh agama Buddha), Bapak Suryanto (49).
Kemudian, diakhiri dengan makan bersama.
Sekitar pukul 11:00, warga kemudian
berbondong-bondong menuju Tuk Sikencen. Tuk berarti sumber air, sikencen
artinya kenci. Tuk Sikencen itulah yang memenuhi kebutuhan warga Kemiri akan
air. Jarak tuk dari dusun sekitar 1 km, melalui jalan setapak yang mengular di
lereng Gumuk Watu Payung, sehingga harus ditempuh dengan jalan kaki. Gamelan,
gong, dan kendang dipikul, tenongan disunggi, dan para penari yang sudah
berkebaya harus menyingsingkan jarit melawan licin. Tampak pula para penari
jaran kepang, warok dan punokawan. Acara dimulai dengan pembacaan mantra oleh
beberapa tetua dengan menggengam menyan. Kemudian, menyan dibakar, lalu
diteteskan ke sumber air. Mbah Marwoto menebar beras, bunga, dan uang receh. Warga
ramai-ramai berebut sesaji. Dan dengan botol minuman mineral mereka mengambil
air berkah untuk nanti dibawa pulang.
Gamelan ditabuh dan penari tayub
segera melenggok. Namun sayang, baru satu atau dua gending, hujan turun dan
segera melebat. Maka acara pun dipersingkat. Warga segera membubarkan diri dan harus
pulang melewati jalan licin dan becek, di bawah guyur hujan yang melebat. Hujan
baru reda ketika warga telah mencapai dusun. Pada pukul 15:00 ketika hujan kembali
tumpah, tayub dimainkan lagi di panggung depan rumah Pak Kadus Waliyoto (47). Dekorasi
yang terpampang bertuliskan: “Pentas Kesenian Tayub Krido Langen Bekso dalam
rangka selametan dusun Kemiri, Getas, Kaloran.” Acara ini selesai pukul 17:00
ketika hujan belum juga usai.
Malamnya, adalah acara paling
ditunggu. Beruntung, hujan sudah tidak turun barang gerimis. Tayub kembali
dipentaskan, tetapi lebih ramai, karena selain warga dari dusun lain
berdatangan, juga dihadiri beberapa tokoh penting, di antaranya: Bapak Wakil
Bupati Temanggung Irawan Prasetyadi, Bapak Camat Kaloran Nizar Ardhani, Bapak
Didik Nuryanto dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, juga Bapak Isnarwandi
anggota DPRD Temanggung.
Sorak sorai penonton selalu tersaji
ketika sampur penari mendarat di pundak penonton. Dan gelak tawa akan pecah
jika penerima sampur menari dengan kaku dan wagu karena tidak bisa dan terbiasa.
Saweran tentu saja ada. Amplop yang diberikan kepada penari, bagi warga Kemiri
dianggap sebagai derma yang diyakini akan dibalas dengan rezeki yang lebih
baik. Acara berlangsung meriah dan bubar menjelang subuh.