SARUNG DAN KEMERDEKAAN

Temanggung 22 Oktober 2016

Sejak diperkenalkan oleh para mubalig dari Arab Selatan di abad ke-14, sarung kemudian membudaya di kalangan kaum santri sebagai jati diri. Bahkan kemudian, pula menjadi seragam perjuangan menghadapi Kompeni, Jepang, Sekutu, hingga PKI. Jadi, sarung sangatlah bisa disejajarkan dengan bambu runcing sebagai ikon kemerdekaan Indonesia tercinta ini.
Sarung adalah sebidang kain yang dijahit kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa raksasa. Cara memakainya dibebatkan pada pinggang, kanan dan kiri ditekuk, dipertemukan di tengah hingga membentuk sebuah belahan, lalu digulung dua atau tiga kali di bagian depan di bawah pusar. Tidak perlu ketrampilan khusus untuk memakainya. Mudah.
Di kalangan santri, sarung lebih menunjukkan prestise, ketimbang semisal baju atau pecis. Kaum elit pesantren biasanya mengenakan sarung sutera halus. Mahal. Sementara kalangan jelata, biasanya mengenakan sarung kasar seperti yang biasa saya kenakan. Murah.
Dulu sampai sekarang, ketika kami memakai sarung, kami masih merasakan rasa kemerdekaan itu. Utamanya ketika kami memakainya tanpa rangkap celana. Udara bisa semaunya masuk dari rongga bawah menyepoikan silir ke segenap ruangan pengap selangkangan. Ah, merdeka sekali!
Bahkan, meski kami memakainya dengan rangkapan celana, kemerdekaan itu masih bisa terasa. Celana di sini bukanlah celana dalam yang masyhur disebut sempak, tetapi celana pendek kolor yang ujungnya tidak menyentuh lutut. Celana pendek lebih memberi kemerdekaan bagi penghuninya. Ketimbang sempak yang berkarakter mirip kompeni: menjajah. Selain itu, celana pendek lebih menjamin keamanan penghuninya dari semisal terjepit, terselip, atau tertelikung. Jadi, celana pendek kolor benar-benar memberi kehidupan permai dan sentosa di dalam sana. Dan yang terpenting, tidak menghambat pertumbuhan. Itulah mengapa sekarang istri-istri kami sejahtera secara batin, tanpa komplain.
Dulu kami pernah melalukan riset dan sensus, berapa persen jumlah santri pemakai celana dalam. Riset itu kami lakukan dengan melihat jemuran. Di jemuran pesantren putra, nyaris tidak akan ditemukan celana dalam tergelantung di hanger. Kalaupun ada, hanyalah satu-dua. Itu menandakan bahwa santri betul-betul memiliki jiwa anti penjajah yang mengekang. Dalam arti lain, gelora ‘merdeka’ masih tergaung di sana.
Lain dengan jemuran pesantren putri. Di sana, selain sarung tentunya, kami bisa menemukan aneka warna celana dalam yang melambai-lambai di tiup kawanan angin, dengan jumlah besar pula. Dan itu wajar, karena celana dalam bagi wanita tidak akan menjajah seperti kompeni. Tidak menjepit, menyelip, atau menelikung. Tidak sama sekali. Bahkan malah melindungi, dari semisal serangga atau debu yang bisa menyebabkan iritasi bahkan inveksi di area yang memiliki kepekaan tinggi.
Selain sebagai media sensus dan riset. Bagi kami, jemuran pesantren putri selaksa radioterapi yang memacarkan gelombang radioaktif berkemampuan menghilangkan pening di kepala kami, terutama ketika uang saku kami menipis. Kami menyebutnya; “Taman ‘gantung’ Babilonia.” Semakin indah warna dan bentuknya, maka semakin mudah kami menghadirkan gadis cantik imajiner dalam khayali. Semakin buruk warnanya, berjamur, bolong, molor, dan berdiameter besar, maka semakin cepat kami meneruskan langkah.
Itu dulu.
Sarung sampai sekarang, dengan megah masih kami kenakan, sebagai seragam perjuangan, jati diri, dan simbol kemerdekaan.
Selamat Hari Santri Nasional!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »