Opini yang terbangun di kalangan Qurays, pasca hijrahnya Rasulullah dan para sahabat ke Yatsrib, adalah bahwa Yatsrib tidaklah lebih dari sebuah ‘negeri petani kurma’. Atau mereka akan lebih marem jika hanya menyebutnya secara ejek, sebagai: ‘perkampungan’ saja.
Tani, secara umum dikelaskan sebagai aktifitas kalangan bawah. Sebab, pekerjaan bertani dianggap sebagai pekerjaan otot yang tidaklah memerlukan begitu banyak koordinasi dengan otak. Selain dari pada itu, bertani berarti bergumul dengan tanah menggunakan cangkul. Sebuah alat yang tidak menakutkan karena bukan dalam kategori senjata.
Jadi, memang tidak ada alasan bagi orang-orang Makkah yang pedagang untuk takut pada komunitas baru yang dibangun Rasulullah di negeri petani itu. “Tidak mungkin seorang imigran – seperti Muhammad – membentuk sebuah legiun orang-orang petani kurma, lalu mengangkat senjata untuk menyerang Makkah,” pikir mereka.
Lain petani, lain pedagang. Bangsa pedagang – seperti Qurays – sudah barang tentu memiliki kelebihan dalam segala hal yang menunjang kehidupan niaganya. Selain informasi pasar, bangsa pedagang juga dituntut memiliki informasi terkini seputar situasi politik negeri yang dituju dan negeri-negeri yang dilalui kafilahnya. Mereka juga harus terampil dalam berdiplomasi dengan suku-suku badui yang dilaluinya. Mereka juga harus jeli membaca gunung, bintang, musim, ceruk, cekungan, batu-batu, sumur, sebagaimana orang sekarang membaca peta. Selain itu, mereka juga harus memiliki pendekar-pendekar tangguh berikut senjata lengkap untuk mengawal kafilah menuju negeri-negeri seberang. Dan Qurays telah memiliki itu semua.
Namun kelak, anggapan kaum pedagang Makkah bahwa kaum petani Madinah tidak akan menyerang apalagi menang, sepenuhnya akan terbukti salah. Kaum petani kurma yang dipimpin oleh seorang imigran bernama Muhammad itu, akan tampil sebagai kampiun bahkan akan menguasai kota Makkah, kota kaum pedagang.
SELAMAT PAGI para petani, semoga Allah memberkahi!